Berkali-kali, berhari-hari.
Siang pun menggantikan malam. Akibatnya, aku selalu tertidur sebelum malam datang, bangun ketika matahari menyapa. Satu-satunya saat aku kehilangan inspirasi siang adalah ketika hujan tiba. Kehidupan terlihat lebih baik ketika terang siang menemani. Sama sekaliaku lupa pada malam. Mengingat malam membuatku muak. Cahaya bulan terlihat membosankan.
Sampai suatu kali pikiranku bergejolak, “Apalah arti setitik cahaya di tempat terang, dimanamentari menyinari bumi dengan sinarnya yang seolah tak terbatas?”. Aku tertegun. “Segala keindahan terang yang ku nikmati, apalah artinya tanpa gelap mengiringi. Juga gelap, apalah artinya dia tanpa terang?”. Berulang dan tetapaku cari jawaban akan hal ini. Aku bertanya pada siang. Tiada jawaban. Kepada malam. Hanya diam.
Hari-hari ku mulai mengerut. Pertanyaan tetap sama. Setelah menjauhi malam, aku meninggalkan siang. Aku pun tinggal di tempat tertutup. Tiada jendela, tiada ventilasi, menghindar dari siang dan malam. Aku merasa diburu. Diburu jawaban, diburu waktu. Sampai pada saat dimana aku merasa lemah, sangat ringkih. Aku mengambilsecarik kertas bekas, sepotong pensil kecil untuk menulis. Dengan bergetar, tanganku pun mulai menari, sebelum nyawa meregang dan berhenti.
“Sesuatu yang paling indah akan selalu berdiri di atas perbedaan. Berbagi dan menghormati, sebab tiada lebih satu dari yang lain."
***0***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H