Nah, persoalannya sekarang turunan dari pasal tersebut diatas belum ada, dan itu juga yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak perusahaan untuk tidak mengakomodir hak perempuan tersebut dalam kontrak atau perjanjian kerja. Jika ditanya, biasanya perusahaan akan menjawab bahwa pasal tersebut masih belum jelas, masih kurang detail sehingga belum bisa diakomodir.
Khusus untuk perusahaan yang sudah mengakomodir hak cuti haid bagi karyawannya, biasanya juga harus disertai surat sakit dari dokter. Ini juga menjadi persoalan, soalnya didalam bunyi Pasal 81 ayat 1 tidak ada disebutkan atau tidak diharuskan bahwa pemberitahuan dan pengajuan hak cuti haid harus melampirkan surat sakit dari dokter.
Menjadi pergumulan bersama saat ini adalah, bagaimana mendorong pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia agar mengeluarkan Peraturan Menteri Tenga Kerja (Permen) terkait pelaksanaan teknis hak cuti haid bagi wanita yang sedang mengalami haid dan merasakan sakit karena proses haidnya.Â
Tentu, ini membutuhkan dukungan dan dorongan yang kuat dari serikat buruh/serikat pekerja, aktivis perempuan dan para praktisi hukum. Dengan diterbitkannya aturan teknis berupa Permen yang berisi pelaksanaan teknis hak cuti haid, semua akan jelas. Mulai dari mekanisme pengajuan cutinya sampai kepada konsekuensi hukum apabila sebuah perusahaan kedapatan tidak memberikan izin kepada seorang wanita yang sedang haid dan merasakan sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H