Mohon tunggu...
Natanael Siagian
Natanael Siagian Mohon Tunggu... Administrasi - Konsultan

Natanael Siagian lahir di Tarutung Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada 30 Desember 1989. Alumni Universitas Batam jurusan ilmu hukum. Tinggal dan menetap di Jakarta. Email: siagian.natanael@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Generasi Darurat Cabul

25 Mei 2016   11:34 Diperbarui: 26 Mei 2016   20:34 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, Indonesia sedang berada dalam kondisi Triple Darurat. Pertama darurat narkoba, kedua darurat korupsi dan ketiga yang sedang hangat dipemberitaan darurat cabul atau darurat pemerkosaan. Bahkan dalam meresponi kondisi darurat cabul tersebut, Presiden Jokowi telah menandatangani sebuah Perpu, yaitu Perpu No.1 tahun 2016. Perpu tersebut dikeluarkan dengan maksud memperberat hukuman bagi para pelaku tindak pidana kekerasan seksual kepada anak-anak.

Apa yang salah dengan hawa nafsu atau syahwat kita, sehingga menjadikan Indonesia berada dalam kondisi darurat cabul ? Tidak ada masalah sebetulnya. Persoalan hawa nafsu atau seksualitas sesungguhnya adalah persoalan fitrah manusia dan merupakan kodrat. Hawa nafsu adalah titipan Tuhan yang wajib dikelola secara baik dan benar. Hawa nafsu menjadi petaka ketika disalurkan kepada orang yang tidak tepat,cara yang tidak tepat, waktu yang tidak tepat dan tempat yang tidak tepat juga.

Seksualitas juga disebut salah apabila ada unsur kekerasan didalamnya. Apabila kekerasan diartikan menurut KBBI: [n] (1) perihal (yg bersifat, berciri) keras; (2) perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; (3) paksaan. Maka kekerasan seksual lebih dipandang sebagai perbuatan secara fisik yang tentunya juga dilakukan oleh pelaku tanpa dikehendaki oleh korban.

Kembali ke kondisi darurat cabul tadi, disebut darurat bukan hanya karena tingginya angka pemerkosaan belakangan ini. Atau karena banyak kasus perkosaan yang terjadi dengan sangat sadis. Tetapi, disebut darurat karena  korban dan pelakunya juga banyak melibatkan anak-anak dibawah umur yang seyogianya menjadi generasi penerus bangsa.
 
Kalau selama ini, anak-anak dibawah umur adalah korban perkosaan. Sekarang, kita mendapati bahwa pelaku perkosaan sudah banyak yang masih berusia remaja atau dibawah umur. Ini sangat memprihatinkan ! Sulit membayangkan kondisi bangsa ini kedepan kalau karakter generasi penerus sudah seburuk itu.
   
Beberapa kasus dimana pelaku pemerkosaan tersebut masih anak-anak dibawah umur, antara lain: Pertama, kasus pemerkosaan terhadap Enno Parinah. Salah satu pemerkosannya adalah siswa SMP bernama Rahmat Alim yang masih berusia 15 tahun. Rahmat Alim dan teman-temannya memperkosa Enno ,bahkan sampai memasukkan gagang cangkul ke dalam alat vital Enno Parinah hingga korban meninggal dunia. 

Korban yang merupakan  karyawati di PT Polyta Global Mandiri, Kosambi, Kabupaten Tangerang, diketahui dibunuh Rahmat yang juga merupakan kekasih korban. Rahmat mengaku memperkosa dan membunuh Enno setelah sempat ditolak untuk berhubungan intim di kamar messnya, Kamis (12/5/2016) lalu.

Kedua, kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun (15) pada sabtu 2 April 2016. Pelajar SMPN 5 Padang Ulak Tanding, yang tinggal di Dusun V Desa Kasie Kasubun. Dari 12 tersangka pelaku yang diamankan terdapat enam orang statusnya masih di bawah umur. Dua di antaranya bahkan tercatat masih berstatus pelajar SMP.
 
Kasus ketiga, kasus pemerkosaan yang dialami seorang siswi SD berinisial LS (11) yang masih duduk di kelas 6 di SD Jatinom. Pemerkosaan terjadi pada Rabu (11/5/2016) sore, LS diperkosa lima remaja di salah satu rumah pelaku di Dusun Sribitan, Puluhan, Jatinom. Kejadiaan tersebut pertama kali diketahui warga setempat pasca mendobrak pintu rumah yang menjadi tempat lima remaja memperkosa LS. 

Kemudian kasus keempat, Seorang gadis berinisial SA berusia 15 tahun diperkosa  secara bergilir oleh tiga orang remaja di Pondok Cabe Udik, Pamulang, Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Ketiga pelaku berhasil diciduk petugas pada Selasa (7/3) malam. Pemerkosanya masih anak-anak usia remaja. Yaitu : Berinisial H berusia 15 tahun,RM berusia 16 tahun Dan AR berusia 17 tahun. Ada  banyak lagi kasus dimana pemerkosa atau pelaku cabulnya adalah anak-anak yang masih remaja.  

Berdasarkan fakta yang memprihatinkan diatas, bahwa saat ini pelaku perkosaan juga banyak anak-anak dibawah umur, semua kalangan harus memberikan perhatian penuh. Baik keluarga, sekolah tempat anak menimba ilmu, maupun pemerintah. 

Poin penting dalam menekan perilaku cabul oleh anak-anak dibawah umur adalah pembentukan karakter anak. Disamping upaya penindakan yang tentunya tetap wajib dilaksanakan untuk memberikan efek jera. Pembentukan karakter sejak usia dini adalah langkah preventif. Kemudian dibarengi dengan meningkatkan pengawasan terhadap anak. Keluarga menjadi lingkungan pertama dalam pendidikan karakter anak, kemudian sekolah dan lingkungan.

Pentingnya Pembentukan Karakter Sejak Usia Dini

Masa anak-anak merupakan masa yang begitu penting untuk meletakkan dasar-dasar kepribadian. Karena itu, kualitas pada pola-pola perkembangan masa anak adalah sangat penting. (Gunarsa, 2001)

Melihat maraknya aksi pencabulan yang dilakukan anak dibawah umur. Secara umum ada 2 penyebab yang begitu signifikan. Pertama, minimnya pembangunan pondasi nilai spiritual anak sejak usia dini. Nilai spiritual pada umunya didapatkan dari agama yang dianut. Kedua,minimnya pengenalan dan pembangunan nilai adat budaya (local wisdom). 

Penanaman nilai-nilai agama tentu akan membentuk karakter  yang berkualitas. Nilai-nilai agama yang tertanam akan membuat seorang anak kelak mampu mengatur hubungannya dengan sesamanya (rule relations) dan dengan TuhanNya.

Persoalannya sekarang adalah, penanaman nilai inilah yang saat ini sudah mulai luntur. Baik dalam pendidikan formal maupun non formal melalui keluarga dan masyarakat (lingkungan). Penanaman nilai-nilai spiritualitas dianggap kalah penting dibanding eksakta, ilmu tentang teknologi, dan lain sebagainya.

Agama belakangan ini sering hanya dijadikan sebagai atribut kehidupan yang berisi rutinitas dan formalitas. Tidak lagi dijadikan sebagai sekolah pembentukan karakter yang akan menuntun cara beperilaku yang baik dan berdampak baik terhadap sesama. Begitu juga halnya dengan penanaman nilai-nilai adat budaya lokal. Orang tua sudah jarang dan terkesan malas menanamkan nilai-nilai adat dan budaya yang luhur itu. Padahal, itu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter seorang anak. 

Setiap adat dan budaya sudah pasti mengajarkan kebaikan. Adat yang sudah turun temurun itu akan mengajarkan sopan santun, etika dan nilai-nilai lainnya. Untuk beberapa suku termasuk suku Batak misalnya, berpegangan tangan dengan lawan jenis kelamin saja adalah hal yang pantang/tabu. Kecuali saudara atau sudah menikah. Sebaliknya, lewat adat budaya kita diajarkan untuk menjaga saudara/i kita masing-masing supaya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Dua benteng pertahanan; Spiritualitas yang bersumber dari agama dan adat budaya itulah yang sudah jebol. Oleh sebab itulah banyak kasus pemerkosaan terjadi. Bahkan anak-anak dibawah umur saat ini sudah menjadi pelaku pemerkosaan. Nilai agama sudah tidak kuat, adat budaya sudah tidak mengakar lagi. Maka dengan mudah segala pengaruh negatif masuk ke dalam kehidupan masyarakat khususnya anak-anak dibawah umur.

Selaku orang yang sadar akan pentingnya menyelamatkan generasi muda, kita tidak bisa hanya meratapi dan menjadi penonton. Atau hanya sekedar berkata 'turut prihatin'. Semua elemen masyarakat harus bahu membahu menyelamatkan generasi. Rumah adalah tempat yang paling tepat untuk memulai. Harus dimulai dari rumah untuk mendidik anak-anak dengan ajaran agama dan budaya yang kuat. 

Dikeluarga atau dirumah, sosok orang tua adalah figur paling tepat untuk dijadikan contoh, maka jadilah orang tua yang patut dicontoh oleh anak. Moral dan kejujuran harus ditempatkan diposisi terdepan. Dan itu harus dipercontohkan kepada anak secara terus menerus.

Setelah keluarga, sekolah menjadi media pembangunan diri yang kedua. Di sekolah anak-anak seharusnya tidak hanya hadir secara fisik, melainkan harus aktif dalam berbagai kegiatan yang telah dirancang dan diprogram sedemikian rupa. Kegiatan sosial misalnya. Atau estrakulikuler yang didalamnya ada permainan tim work. Dengan demikian anak-anak belajar saling mengasihi dan bekerja sama. Karena itu, disamping keluarga, sekolah memiliki peran yang sangat vital bagi perkembangan karakter anak.

Dilingkungan sekolah anak-anak akan dibina oleh seorang guru. Guru adalah pribadi yang memang sudah dilatih dan dipersiapkan secara khusus dalam bidang pendidikan. Mereka menguasai sejumlah pengetahuan khusus dan keterampilan yang bisa menjadi stimulus bagi perkembangan anak-anak lengkap dengan penguasaan metodologi pembelajarannya.

Dalam konteks perkembangan anak, hal tersebut merupakan salah satu sisi keunggulan guru dari pada orang-orang dewasa lain pada umumnya. Termasuk dari orang tua. Karenanya, lazimnya pengalaman interaksi pendidikan dengan guru di sekolah akan lebih bermakna bagi anak dari pada pengalaman interaksi dengan sembarang orang dewasa lainnya. Walaupun  biasanya sekolah itu cenderung dominan untuk perkembangan aspek intelektual dan kognisi  anak.

Sesuai dengan pendapat Bredekamp, bahwa sasaran kurikulum sekolah yang tepat itu adalah :
Pertama, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak dalam semua bidang perkembangan fisik, sosial, emosi dan intelektual guna membangun suatu fondasi untuk belajar sepanjang hayat;
Kedua,mengembangkan harga diri anak, rasa kompoten dan perasaan-perasaan positif terhadap belajar. 

Selain keluarga dan sekolah, yang terakhir masyarakat tempat anak – anak hidup dan bergaul juga berpengaruh terhadap karakter anak. Disana mereka bergaul,saling mengenal dan melihat orang – orang beperilaku. Perilaku disekitar biasanya akan  
Ter copy paste oleh anak-anak. Oleh sebab itu benarlah istilah yang mengatakan bahwa pergaulan yang buruk akan merusak kebiasaan yang baik. Intinya, lingkungan juga berpengaruh. 

Dewasa ini, anak-anak juga tidak akan terlepas dari kemajuan teknologi. Dari situlah sumber konten pornografi mereka dapatkan. Kebiasaan melihat konten pornografi diyakini menjadi salah satu pemicu maraknya pemerkosaan. Memang, perkembangan teknologi tidak akan bisa dihadang. Kita tidak akan pernah bisa menahan arus yang mengalir deras tersebut. Tetapi, kita bisa mengantisipasi dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. Salah satunya dengan pendampingan terhadap anak. 

Melihat kondisi sekarang, anak-anak perlu diawasi dalam mengoperasikan gadged, laptop dan alat komunikasi lainya. Bila perlu pengadaanya juga perlu ditahan, jika memang dipandang tidak begitu urgent. Orang tua harus semakin bijak dalam memenuhi kebutuhan anak.

Kemudian selain penanaman nilai spiritualitas dan adat budaya, pengenalan (pendidikan) terhadap seksualitas juga perlu disampaikan kepada anak. Ketika anak sudah berusia 12 tahun maka pembelajaran tentang seksualitas sudah boleh disampaikan. Pembelajaran boleh dilakukan oleh orang tua maupun guru disekolah. Dengan demikian seorang anak dapat memahami seksualitas dengan benar, tanpa harus belajar otodidak yang dapat berakibat salah kaprah, sehingga terjadi penyimpangan. 

Proses Hukum Terhadap Anak Pelaku Pemerkosaan

Dalam kasus anak menjadi pelaku tindak pidana pemerkosaan. Penting diketahui pidana penjara terhadap anak hanya dilakukan sebagai upaya terakhir. Proses hukum harus tetap berjalan. Tetapi dalam prosesnya banyak hal yang perlu diperhatikan. 

Pertimbangan itu sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang dilaksanakan berdasarkan asas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan dilakukan sebagai upaya terakhir. Dan setiap anak dalam proses peradilan pidana juga berhak tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) membagi 3 (tiga) definisi anak yang berhubungan dengan tindak pidana sebagai berikut: Pertama, anak yang berkonflik dengan Hukum. Yang dimaksud dalam hal ini adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Kedua, anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Ketiga, anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
 
Selanjutnya untuk batas umur juga telah diatur.  Batasnya yaitu 12 (dua belas) tahun. Harus berusia minimal 12 tahun dulu baru dapat diajukan ke sidang anak. Peraturan tersebut  didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
 
Kembali merujuk ke Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yaitu penyidikan dan penuntutan pidana anak serta persidangan anak, wajib mengedepankan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. 

Adapun diversi itu dimaksudkan dengan tujuan untuk: Pertama, untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak. Kedua, menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan. Ketiga,menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Keempat,mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. Dan kelima, menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. 

Proses diversi akan dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
Pertama, jika ancaman pidana penjaranya dibawah 7 (tujuh) tahun; dan kedua, bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Kedua hal ini harus menjadi pertimbangan pokok dalam diversi. Diversi sebagai upaya dalam mewujutkan Restoratif Justice,  yaitu pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana.
 
Mengenai tindak pidana perbuatan cabul. Jika merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),istilah perbuatan cabul, telah diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Dan mengutip dari KUHP,  menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya; termasuk pula persetubuhan namun di undang-undang disebutkan sendiri.
 
Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 82 Undang Undang No. 35 tahun 2014 adalah sebagai berikut:
(1)  Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
   
Perlu diketahui pula bahwa dalam pasal tersebut tidak diatur mengenai siapa yang melakukan tindakan pidana tersebut, apakah orang yang sudah dewasa atau anak-anak dibawah umur. Oleh karena itu, anak-anak pun dapat dipidana berdasarkan pasal ini. Walaupun tetap mempertimbangkan upaya diversi. 

Realita anak dibawah umur menjadi pelaku pemerkosaan, adalah realita 'korban telah berubah menjadi pelaku'. Hukum harus tetap ditegakkan. Upaya pencegahan menjadi hal yang lebih penting. Sekali lagi ini semua dalam rangka menyelamatkan generasi penerus bangsa. 

---

Sumber:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014;
3.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
4. Sumber Bacaan

Percakapan Obrolan Berakhir

Ketikkan pesan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun