Pandemi covid-19 Â mempunyai dampak besar terhadap segi-segi kehidupan khususnya kehidupan menggereja. Peristiwa ini menjadi suatu gertakan besar, banyak orang akhirnya memilih untuk lockdown; menolak segala bentuk dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan di luar rumah.
 Tidak heran sekarang melihat para pastor atau calon-calon imam untuk bermisi, melakukan kerasulan dan berpastoral dengan menggunakan alat atau media digital. Misalnya, untuk merayakan Ekaristi online, katekese online, doa lingkungan online, dan bahkan ada ziarah online.
Gaya hidup di tengah perkembangan dunia digital membuat suatu karya Gereja tidak memenuhi esensi tertentu dan mengurangi eksistensi para romo yang menjadi manifestasi "in persona Christi".
Tapi dalam era digital ini, Gereja dituntut untuk selalu beradaptasi dengan perkembangan yang sedang terjadi dan perlu menyesuaikan bentuk pewartaan yang selaras dengan zamannya.
 Hal ini disampaikan oleh Dosen STIPAR Ende, RD. Deny Nuwa, dalam materinya pada kegiatan hari studi dalam rangka 100 tahun Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Mataloko, Rabu (7/8/2024).
Maka, pastoral dan misi digital yang sudah menjamur sungguh tak terelakkan; menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan: semakin efektif dan efisien dengan visi dan misi yang jelas. Paus Emeritus Benediktus XVI, pernah mengungkapkan bahwa "lingkungan digital bukanlah dunia paralel atau murni virtual, tetapi merupakan bagian dari realitas sehari-hari banyak orang".Â
Penting juga agar kegiatan pastoral dan misi digital ini, perlu memperhatikan elemen penting, yakni empat pilar(sanctitas, scientia, sanitas, dan societas) sebagaimana digunakan untuk membentuk pribadi seorang calon-calon imam.
Namun, perlu juga disadari oleh para calon-calon imam khususnya. Jangan sampai pada akhirnya pilar-pilar itu hanya menjadi suatu yang bias dan tidak didalami maknanya secara dalam.Â
Dapat membuat seorang calon-calon imam tidak lagi berfokus pada panggilan menuju imamatnya, menyalahgunakan aplikasi digital sebagai alat mencari kebahagiaan semu; dengan merubahnya menjadi pribadi yang individualistis dan anti terhadap komunitas.
Makna salib, tidak hanya menghubungkan relasi antara Allah dan manusia saja, tetapi menghubungkan relasi antara sesama manusia itu sendiri. Oleh karena itu, Gereja dengan para pengikutnya harus mempertahankan untuk mengedepankan juga hubungan fisik antar-manusia.
 Kemunculan platform digital diintensikan dapat merangkul, menjangkau dan menghubungkan diri dengan pengikut mereka, tidak hanya bekerja di depan layar saja; dengan begitu para pengikut-pengikut itu tidak hanya menjadi pengikut tapi diharapkan mau mengikuti (following) ajaran sang guru, Yesus. Pengikut-pengikut yang dimaksud ialah kita sekalian para umat Kristus.
Kesimpulannya, dengan maraknya media, khususnya media sosial yang gunakan oleh serangkaian calon imam bahkan para imam atau biarawan/biarawati, telah menjadi syarat penting untuk komunikasi sosial pastoral.Â
Di luar setelah pandemi, bahkan semakin banyak lagi media sosial yang berbau agama (Katolik) yang bermunculan. Gereja tidak bisa lagi acuh tak acuh pada pastoral dengan dan dalam dunia digital. Sudah waktunya untuk merancang dan mengembangkan pastoral digital sebagai salah satu kategori penting dalam pelayanan pastoral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H