Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020 untuk memilih 9 gubenur, 224 bupati, dan 37 walikota secara serentak mendapatkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat. Teranyar, PB NU dan PP Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar di Indonesia yang kerap berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawal, saat ini kompak satu sikap dalam memandang gelaran pilkada serentak yaitu "Tunda". Potensi penyebaran dan peningkatan pasien positif Corona menjadi dasar bergulirnya ide tunda pilkada ini.
Merujuk kepada dokumen World Health Organization (WHO) yang diunggah pada 9 Juli 2020, pedoman mode penyebaran covid-19 disebutkan melihat bahwa ada kemungkinan droplet berukuran ekstra kecil (mikrodroplet) yang dihasilkan saat batuk atau bersin dapat membuat virus bertahan lama di udara. Oleh karenanya membatasi aktivitas, menghindari kerumunan dan menjaga jarak masih menjadi pilihan utama guna meminimalisir potensi terpapar virus ini.
Bertolak belakang dengan tahapan Pilkada yang akan dilalui : Kampanye, Pencoblosan dan Penghitungan surat suara serta pasca penghitungan justru menghimbau warga atau masyarakat untuk berkerumun dan memberi pekerjaan pada mereka. Omong kosong dengan protokol Covid ketat, proses pendaftaran calon kemarin saja terdapat 243 dugaan pelanggaran yang dilakukan bakal calon kepala daerah berdasarkan temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebagai bukti bukanlah hal yang mudah mengendalikan kerumunan massa yang cenderung ekspresif, apa lagi bersanding dengan karakter masyarakat yang pemberani.
Sejak awal sebelum kehadiran Covid-19, pemerintah belum menunjukkan performance yang tepat dalam menghadapi pandemi ini. Jika diawal bersikap under estimate, acuh dan mengabaikan dan saat ini bersikap over estimate seolah-olah semua telah dalam genggaman dan dapat diatasi, namun faktanya, grafik pasien positif Corona kian hari kian meroket, penanda tak efektifnya strategi dan taktik pemerintah dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Performa yang sama juga menjadi dugaan banyak pihak jika pilkada desember nanti tetap di gelar. Klaster baru akan tercipta, Corona mendapatkan calon-calon korban baru untuk mereka jangkiti. Itulah mengapa satu persatu baik secara kelembagaan maupun personal penolakan itu datang sebagai peringatan untuk pemerintah agar tidak berulang melakukan kesalahan tanpa penyesalan.
Pemerintah bergeming, Senin 21 September kemarin dalam rapat kerja komisi 2 bersama Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP menetapkan tidak ada penundaan dalam pelaksanaan pilkada serentak Desember nanti. Pernyataan sikap organisasi dan himbauan tokoh bangsa seolah tak digubris stakeholder, resiko dipandang sebelah mata. Mungkin karena penolakan tersebut berasal dari organisasi yang bersifat moral dan tidak memiliki implikasi secara politik saya menduga ia menjadi kurang didengar dan diperhatikan.
Oleh karenanya keterkejutan muncul, ketika ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Bang Andi Arief menyatakan sikap siap menerima jika pilkada harus ditunda demi menyelamatkan rakyat. Entah ini pernyataan resmi partai atau sikap pribadi Andi Arief, namun sikap dan pemikiran ini harus mendapat apresiasi, karena asumsi yang hadir ditengah masyarakat, partai politik (terutama yang memiliki kursi di DPR) Â adalah pihak yang paling enggan dengan wacana penundaan pilkada karena berkaitan dengan kekuasaan dan eksistensi partai politik, namun rupanya tidak demikian dengan Partai Demokrat.
Hemat saya, sikap Bang Andi Arief ini sebaiknya diformalkan menjadi sikap Partai Demokrat. Mas Ketum Agus Harimurti Yudhyono (AHY) harus tampil memimpin gerakan "Tunda Pilkada". Kekuatan politik yang ada pada partai atau fraksi Demokrat akan membuat issu penundaan pilkada mendapatkan pasokan energi. Paduan gerakan cultural dan politik akan semakin memperbesar kemungkinan berhasilnya perjuangan untuk menunda pilkada demi keselamatan nyawa rakyat. Tak layak ada pesta ditengah pandemi apalagi itu pesta demokrasi.
Berbagai simulasi telah dilakukan oleh ahli pandemi, kemungkinan-kemungkinan buruk juga telah disampaikan ahli kesehatan, dan mereka adalah pihak yang paling berwenang untuk menjelaskan. Pelaksanaan pilkada Desember berpotensi ibarat mencari jarum namun kehilangan kampak, mengumpulkan suara rakyat sekaligus mengorbankan keselamatan rakyat. Penundaan pilkada serentak adalah harapan rakyat, dan itu harus menjadi perjuangan Demokrat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H