Mohon tunggu...
ramadhan ali
ramadhan ali Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Batu Cap Ikhlas

30 April 2017   01:48 Diperbarui: 30 April 2017   02:38 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Coba berimajinasi sejenak. Konsentrasi dengan daya imaji yang mungkin jarang disentuh  karena termanjakan oleh berbagai bentuk visual yang indah sehari-hari. Iklan rokok, tongseng Mas Kumis, motor CB, Perpustakaan UI, atau siaran adzan di kala Ramadan. Mari kita jadi sesuatu yang sulit. Jadi batu misalnya. Batu itu, kan diam, tak bergerak, tak merasa panas, atau dingin, apalagi merasa kegelian. Atau justru bisa? Biar, ini kan imajinasi saya. Nah, batu yang diam itu, yang tidak bodoh dan tidak pintar itu terus ada di tempatnya. Dia tak akan bergerak kalau tak dipindahkan. Ah! Tak punya inisiatif rupanya! Ah masa tak punya inisiatif? Atau mungkin dia malas?! Biar, lagi-lagi ini imajinasi saya.

Batu juga tak bisa presentasi di kelas, naik motor ke kampus, apalagi pacaran. Siapa pula yang cinta batu? Namun tetap, kita harus kritis. Jangan beranggapan kalau batu itu hina, rendahan, tak intelek, juga tidak tampan. Tak bijak rasanya kalau kita memandang batu seperti itu. Tidak adil rasanya. Memangnya ada batu yang dibesarkan dengan kasih sayang? Dimasukkan SD, SMP, SMA, lalu kuliah pakai uang negara? Kalau ada, beberapa kawan saya bisa sirik dengan batu tersebut. Tapi selama ini sepertinya belum ditemukan batu yang dapat beasiswa seperti itu. Jadi tidak ada alasan sirik dengan batu yang setelah dibiayai tetap saja diam, malas, dan tak punya inisiatif.

Tapi sesungguhnya batu itu memiliki secerca nilai edukasi yang tak kurang intelek dari para Profesor dan Astronot. Meskipun begitu, batu tidak congkak. Bahkan ia tak pernah mengajari makhluk lain, ia tak pernah merasa pantas mengajari makhluk lainnya. Hebat bukan? “lalu ilmu apa yang diajari batu?” saya bertanya sambil mengetik. “Ilmu Ikhlas.” Saya menjawab sendiri pertanyaan imajiner saya. Tapi tidak bisa tidak dipungkiri oleh akal saya yang belum sepenuhnya budi ini bahwa saya setuju! Bayangkan, batu tak pernah iri dengan elemen lain yang ada di sekitarnya. Air yang dipuja saat kekeringan, angin yang saking dibutuhkannya diternak lewat kipas angin, dan manusia tentunya, yang selalu dimanjakan dunia. Kalau saya jadi batu, saya pasti geram bukan main. Tapi batu sejati tidak akan geram, sedikit pun tidak. Melengus pun tidak! Apa namanya kalau bukan ikhlas? Ia tergeletak ditempatnya entah sampai kapan. Mana ada manusia yang tahan hidup terkatung-katung tanpa kejelasan? #ea.

Namun, setidaknya batu akan selalu menjadi bagian yang istimewa dari bumi kita. Apakah imajinasi terliar Anda bisa menggambarkan apa yang terjadi apabila batu-batu itu tidak ikhlas? Mereka akan bergerak ke arah yang mereka suka. Batu-batu Stonhenge akan memberontak. Merusak lapangan-lapangan sepakbola Premier League yang indah-indah itu. Lalu mereka menuntut penegakkan Hak Asasi Batu. Batu tak mau lagi hanya dijadikan pijakkan. Batu juga ingin dapat akses air bersih dan ingin punya dewan keseniannya sendiri. Tamat sudah riwayat manusia, para penjajah batu dengan ketamakan dan keserakahannya itu.

Peradaban batu akan hidup kekal abadi, sekekal keikhlasan itu sendiri!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun