Mohon tunggu...
afib rizal
afib rizal Mohon Tunggu... -

bukan siapa siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelajaran Etika PNS

4 Desember 2013   09:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:20 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

PELAJARAN ETIKA

Sore ini, aku bertemu dengan seorang PNS muda yang akan dipromosikan naik jabatan. Baginya promosi jabatan adalah penambahan priuk nasi. Institusi pemerintah bukanlah ladang pengabdian melainkan ladang untuk mendapatkan rupiah yang lebih banyak, kedudukan yang terhormat di mata masyarakat, dan tentu saja prestise tersendiri. Terakhir, sebelum ia berpisah denganku ia sempat berpesan bahwa lebih baik kita merampok uang negara daripada merampok orang.

Menurutku, alasan yang di kemukakan adalah sebuah common sense di negeri ini. Mungkin bukan ia saja yang berpikiran seperti itu, 90% PNS kita saya pikir juga masih berpikir demikian. Celakanya, reformasi birokarasi yang dicangkan pemerintah nampaknya belum direspon secara positif oleh PNS terutama di daerah. Memang jika PNS Pusat sudah mendapatkan remunerasi yang menjadi tolok ukur kinerja dan integritas.

Di sisi lain, Status PNS adalah sebuah prestise tersendiri. Meminjam istilah Clifford Gretz, PNS adalah golongan priyayi yang harus di hormati. Maka wajarlah jika masyarakat masih banyak yang mencibir kinerja PNS kita. Bolehlah dikatakan, hal di atas melanggara etika. Tapi pertanyaannya Etika yang mana?

Etika hanya ada dalam lembar pelajaran diklat Prajabatan, pimpinan, dan diklat diklat lainya. Selebihnya dalam tataran praktek etika normatif itu tidak ada. Malah sebuah kebalikan, jika kita tidak melakukannya maka kita lah yang telah melanggar etika itu.

Dalam Panca Prasetya Korpri, PNS adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada TYME. Namun, apakah cukup dengan Imtaq bisa membentengi diri kita dari pelanggaran etika normatif tersebut.

Dalam paradigma Positivistik, semakin tinggi Imtaq seseorang (rajin beribadah) maka semakin jauh orang tersebut dari perbuatan dosa (pelanggaran etika). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian.

Namun, agaknya untuk kasus di Indonesia paradigma ini tidak berlaku. Mungkin pula Agust Comte sang penemu paradigma ini jika masih hidup akan pusing tujuh keliling memikirkan kasus di Indonesia. Bagaimana tidak, seoarang Ulama yang kebetulan anggota DPR RI pun ikut mengkorupsi kitab suci, bukan ?

Puisi di bawah ini yang saya ambil dari sosmed, agaknya menunjukkan ironi seorang PNS tersebut
PUISI PNS                                                        (“Nasib-mu wahai PNS”)
Berhasil dalam tugas sudah “Tradisi”
Kerja Berat sudah “Pasti”
Loyalitas Terhadap Pimpinan “Harga Mati”
Gagal dalam Tugas di “Mutasi”
Pulang Terlambat di Omel “Istri”
Hidup Kaya di ”Curigai”
Kalau Miskin ” salah Sendiri”
Mau Penempatan Bagus “ Loby sana Sini”
Kalau Idialis Cepat di “Ganti”
Potongan” BPD, BRI & Kopresai tiap bulan sudah Menanti”
Kenaikan Gaji ”tidak Memadai”
Semertara masuk surga juga belum “Pasti”
Nasib-mu wahai PNS..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun