PELAJARAN ETIKA
Sore ini, aku bertemu dengan seorang PNS muda yang akan dipromosikan naik jabatan. Baginya promosi jabatan adalah penambahan priuk nasi. Institusi pemerintah bukanlah ladang pengabdian melainkan ladang untuk mendapatkan rupiah yang lebih banyak, kedudukan yang terhormat di mata masyarakat, dan tentu saja prestise tersendiri. Terakhir, sebelum ia berpisah denganku ia sempat berpesan bahwa lebih baik kita merampok uang negara daripada merampok orang.
Menurutku, alasan yang di kemukakan adalah sebuah common sense di negeri ini. Mungkin bukan ia saja yang berpikiran seperti itu, 90% PNS kita saya pikir juga masih berpikir demikian. Celakanya, reformasi birokarasi yang dicangkan pemerintah nampaknya belum direspon secara positif oleh PNS terutama di daerah. Memang jika PNS Pusat sudah mendapatkan remunerasi yang menjadi tolok ukur kinerja dan integritas.
Di sisi lain, Status PNS adalah sebuah prestise tersendiri. Meminjam istilah Clifford Gretz, PNS adalah golongan priyayi yang harus di hormati. Maka wajarlah jika masyarakat masih banyak yang mencibir kinerja PNS kita. Bolehlah dikatakan, hal di atas melanggara etika. Tapi pertanyaannya Etika yang mana?
Etika hanya ada dalam lembar pelajaran diklat Prajabatan, pimpinan, dan diklat diklat lainya. Selebihnya dalam tataran praktek etika normatif itu tidak ada. Malah sebuah kebalikan, jika kita tidak melakukannya maka kita lah yang telah melanggar etika itu.
Dalam Panca Prasetya Korpri, PNS adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada TYME. Namun, apakah cukup dengan Imtaq bisa membentengi diri kita dari pelanggaran etika normatif tersebut.
Dalam paradigma Positivistik, semakin tinggi Imtaq seseorang (rajin beribadah) maka semakin jauh orang tersebut dari perbuatan dosa (pelanggaran etika). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian.
Namun, agaknya untuk kasus di Indonesia paradigma ini tidak berlaku. Mungkin pula Agust Comte sang penemu paradigma ini jika masih hidup akan pusing tujuh keliling memikirkan kasus di Indonesia. Bagaimana tidak, seoarang Ulama yang kebetulan anggota DPR RI pun ikut mengkorupsi kitab suci, bukan ?
Puisi di bawah ini yang saya ambil dari sosmed, agaknya menunjukkan ironi seorang PNS tersebut
PUISI PNS (“Nasib-mu wahai PNS”)
Berhasil dalam tugas sudah “Tradisi”
Kerja Berat sudah “Pasti”
Loyalitas Terhadap Pimpinan “Harga Mati”
Gagal dalam Tugas di “Mutasi”
Pulang Terlambat di Omel “Istri”
Hidup Kaya di ”Curigai”
Kalau Miskin ” salah Sendiri”
Mau Penempatan Bagus “ Loby sana Sini”
Kalau Idialis Cepat di “Ganti”
Potongan” BPD, BRI & Kopresai tiap bulan sudah Menanti”
Kenaikan Gaji ”tidak Memadai”
Semertara masuk surga juga belum “Pasti”
Nasib-mu wahai PNS..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H