Di Indonesia, surealisme dalam fiksi mulai mendapatkan perhatian melalui karya-karya, semisal penulis seperti Danarto dan Seno Gumira Ajidarma---dan yang lainnya, tentu saja, tetapi untuk tulisan ini, contohnya dua penulis tersebut. Danarto, misalnya, dikenal dengan kumpulan cerpen Godlob (1987) yang menghadirkan paduan realitas dan mitologi.Â
Dalam cerpen "Adam Ma'rifat," Danarto menggambarkan perjalanan spiritual yang penuh dengan simbolisme dan visi sureal. Cerpen ini menceritakan tokoh utama yang mengalami perjalanan mistis, yaitu batas antara dunia nyata dan alam gaib menjadi kabur.Â
Dalam ceritanya, Danarto menggunakan tokoh-tokoh mitologis, simbol keagamaan, dan peristiwa yang melampaui logika. Sebagai contoh, perjalanan tokoh utama digambarkan melalui pertemuan dengan sosok-sosok yang merepresentasikan nilai-nilai moral dan spiritual.Â
Elemen sureal semakin terasa ketika tokoh utama mengalami peristiwa seperti melihat cahaya yang berbicara, bertemu dengan malaikat yang bernyanyi, atau melintasi dimensi waktu yang membawa makna filosofis mendalam. Danarto menggunakan narasi sureal ini untuk menggambarkan pencarian makna hidup dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Seno Gumira Ajidarma juga menyisipkan elemen surealisme dalam karyanya, seperti dalam cerpen "Manusia Kamar". Cerpen tersebut menceritakan karakter utama yang hidup terkurung dalam kamar yang seolah-olah menjadi dunia tersendiri. Kamar tersebut bukan hanya ruang fisik, tetapi juga metafora untuk keterasingan dan konflik batin yang dialami oleh tokoh.Â
Dalam cerpen ini, dinding kamar bak berbicara dan menjadi saksi bisu dari pergulatan batin sang tokoh utama yang merasa terasing dari dunia luar. Kehidupan di dalam kamar ini diwarnai oleh peristiwa-peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara logis, seperti suara-suara aneh yang muncul tanpa sumber, bayangan yang bergerak sendiri, dan waktu yang terasa berhenti.Â
Surealisme dalam cerpen ini tidak hanya menghadirkan keabsurdan, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan isolasi manusia modern yang terperangkap dalam ruang batin mereka sendiri. Kamar tersebut menjadi cermin dari jiwa yang terkungkung oleh ketakutan, kesepian, dan ketidakpastian, dan akhirnya membuat pembaca mempertanyakan makna kebebasan dan keterasingan.
Memahami surealisme dalam fiksi membutuhkan keterbukaan pikiran dan kemampuan untuk menerima bentuk keabsurdan sebagai bagian dari cerita. Alih-alih mencari logika atau alasan di balik setiap peristiwa, pembaca diajak untuk merasakan emosi dan makna apa yang tersembunyi di balik lapisan-lapisan simbolisme.Â
Sebagai contoh, The Metamorphosis bukanlah tentang transformasi fisik semata, melainkan refleksi dari alienasi dan tekanan sosial yang dialami oleh karakter utama.Â
Dalam karya Danarto, elemen sureal sering digunakan untuk menggambarkan perjalanan spiritual atau konflik batin yang sulit dijelaskan secara rasional. Sementara itu, dalam One Hundred Years of Solitude, Â surealisme berfungsi untuk mengeksplorasi hubungan antara manusia, sejarah, dan takdir.
Surealisme mengajarkan kita bahwa tidak semua hal dalam hidup dapat dijelaskan dengan logika. Kadang-kadang, mimpi, imajinasi, dan hal-hal tidak logis justru menjadi cara terbaik untuk menggambarkan kompleksitas kehidupan. Dengan memahami ini, kita dapat menikmati karya-karya surealis dengan lebih menghargai cara penulis mengungkapkan pandangan mereka tentang dunia.