Cinta, sebuah kekuatan yang bisa memabukkan sekaligus merusak, seringkali membuat manusia bertindak di luar batas rasionalitas. Setiap kali kamu mencemooh mereka yang terperangkap dalam kebodohan cinta, pernahkah kamu bertanya pada diri sendiri, apakah kamu sudah cukup bijak dalam menghadapinya? Apakah kamu juga terkadang kehilangan arah dalam pencarian akan kasih sayang? Mari bercermin pada tragedi yang paling agung dalam sejarah: Romeo dan Juliet. Dua nama dari jelmaan mantra cinta abadi yang menyembunyikan ironi pahit bahwa cinta tak hanya memabukkan, tetapi juga bisa meruntuhkan logika hingga serpihan terakhir.
Romeo, seorang pemuda yang hidup dengan jiwa bergelora, pertama kali terjerat oleh Rosaline, wanita yang tak pernah benar-benar hadir untuknya. Rosaline adalah keindahan yang tak tersentuh, seorang Capulet yang lebih memilih Tuhan daripada pelukan manusia. Keputusan Rosaline untuk menjadi biarawati menghancurkan Romeo hingga remuk dan membuat pemuda itu memutar haluan menjadi penyair patah hati yang menggantungkan hidupnya pada puisi-puisi beraroma duka. Namun, adakah cinta sejati dalam kisah ini? Apakah Romeo benar-benar mencintai Rosaline sebagai individu, ataukah ia hanya mencintai ide tentang cinta itu sendiri, seperti seseorang yang terpesona pada kilauan permata tanpa memahami nilainya?
Kemudian datanglah Juliet, sang ledakan dahsyat yang memporak-porandakan dunia Romeo menjadi serpihan-serpihan yang tak dapat disatukan kembali. Pertemuan mereka di pesta keluarga Capulet tak diragukan lagi bagaikan takdir yang bersorak riuh. Romeo, yang awalnya datang demi memuaskan rasa penasarannya pada Rosaline, tak lagi mampu berpaling saat mata Juliet menyulut kobaran api dalam dirinya. Dalam sekejap, Rosaline hanyalah bayang-bayang memudar. Juliet, yang baru berusia empat belas tahun, adalah keajaiban yang membingungkan: polos namun berani, cantik, dan cerdas, melebihi umur dan pengalamannya. Meski muda, ia menunjukkan kedewasaan yang jauh melampaui pandangan dunia yang dimiliki oleh Romeo, yang justru terperangkap dalam hasrat semata.
Adegan balkon, yang sering dianggap sebagai lambang cinta romantis, sesungguhnya adalah panggung ketika Juliet menyuarakan kegelisahannya. Di sana, Juliet bukan hanya gadis yang terbuai dalam kata-kata indah Romeo, tetapi seorang filsuf muda yang mempertanyakan esensi cinta yang ditawarkan Romeo. "Apakah cintamu hanya angin lalu?" tanyanya. Namun, Romeo, pemuda impulsif yang terjebak dalam kata-kata manis, menjawab dengan puisi-puisi yang lebih mirip mantra daripada komitmen nyata. Juliet ingin kepastian, sementara Romeo hanya mampu menawarkan gairah yang membara.
Seperti semua tragedi besar, cinta mereka menemui rintangan yang tak terhindarkan. Keluarga Capulet dan Montague adalah dua kutub yang tak akan pernah bertemu. Namun, dalam ketegangan ini, mereka nekat menikah secara diam-diam, seolah-olah mencoba menantang nasib. Sayangnya, keberanian mereka yang luar biasa diiringi kebodohan yang sama besar. Ketika Tybalt, sepupu Juliet, memancing amarah Romeo, tragedi itu mulai menunjukkan taringnya. Mercutio, sahabat Romeo, tewas dalam duel, dan Romeo, dengan amarah yang menyala-nyala, membalas dengan membunuh Tybalt. Tindakan ini bukan hanya memperburuk situasi, tetapi juga mengasingkannya dari Juliet.
Dan, puncak kebodohan Romeo terletak di akhir cerita. Saat menerima kabar palsu bahwa Juliet telah meninggal, ia tidak berpikir dua kali untuk mengambil langkah drastis. Ia tidak mencari kebenaran, tidak pula mencoba memahami situasi. Romeo adalah sosok yang terburu-buru, yang lebih memilih untuk merangkul kematian daripada menghadapi kenyataan pahit. Racun menjadi pelariannya, dan tubuhnya rebah di sisi Juliet yang hanya tertidur. Ketika Juliet terbangun dan menemukan Romeo tak lagi bernyawa, ia pun memilih kematian sebagai jawaban.
Tragedi ini adalah ironi yang paling tajam dalam sejarah cinta: cinta yang begitu murni justru menjadi penyebab kehancuran. Romeo bukanlah pahlawan cinta; ia adalah sosok yang tersesat dalam ruang emosinya sendiri. Dari Rosaline hingga Juliet, ia menunjukkan pola yang sama: cinta yang liar, penuh gairah, namun sering kali egois. Sebagai manusia modern, kamu bisa belajar bahwa cinta bukan hanya soal kobaran api yang menyala-nyala, tetapi tentang keberanian untuk mendengarkan, memahami, dan menghadapi realitas. Namun, sebelum kamu tertawa pada kebodohan Romeo, mari bertanya: bukankah kamu juga kadang menjadi Romeo dalam kisahmu sendiri?
---
Shyants Eleftheria, Freedom of thought
Sumber inspirasi kisah Romeo and Juliet, karya legendaris dari William Shakespeare,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H