Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Ketika Gagasan Filsafat Menghidupkan Sastra

12 Januari 2025   11:32 Diperbarui: 12 Januari 2025   11:32 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsafat bagi sebagian orang seringkali dianggap sebagai sesuatu yang berat dan penuh dengan konsep-konsep abstrak yang membutuhkan pikiran serius untuk memahami hakikat tentang segala sesuatu dan mempertanyakan dasar-dasar eksistensi manusia. Konsep-konsep seperti etika, kebebasan, dan keadilan yang dijelajahi dalam filsafat acapkali tidak mudah dicerna karena melibatkan pemikiran yang kritis dan reflektif. Hanya sedikit orang yang tertarik pada filsafat karena kompleksitas dan abstraksinya yang memerlukan kedalaman penalaran yang cukup menguras otak.

Namun, bagaimana jika filsafat itu dikemas dalam sebuah cerita? Apakah hasilnya sama saja? Apakah filsafat yang disampaikan dalam bentuk cerita justru memusingkan pembaca atau malah membuat karya sastra menjadi lebih indah dan memikat?

Di dunia fiksi, sesungguhnya filsafat dihadirkan bukan sebagai ceramah atau diskusi teoritis yang membosankan, melainkan sebagai bagian dari alur kehidupan tokoh-tokoh yang kita ikuti. Hanya di tangan yang tepat, filsafat bisa menjadi sesuatu yang tidak hanya menggugah pemikiran, tetapi juga mampu menyentuh hati pembaca.

Di Indonesia, kita memiliki sejumlah penulis yang telah berhasil memadukan filsafat dalam karya-karya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ide-ide besar tentang kehidupan dapat menemukan rumah di dunia fiksi. Melalui pendekatan ini, selain menjadi sebuah teori abstrak yang---memang---sulit dimengerti, filsafat juga mampu menggugah refleksi dan emosi pembaca dengan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang memaksa kita untuk berpikir dalam tentang kehidupan.

Salah satu nama besar yang tidak bisa diabaikan adalah Pramoedya Ananta Toer. Melalui Tetralogi Buru---yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca---Pram tidak hanya menceritakan perjalanan hidup Minke, seorang pemuda pribumi di masa kolonial, tetapi juga menggali gagasan-gagasan filosofis mengenai kebebasan, keadilan, dan humanisme. Novel-novel Pramoedya ini tidak secara eksplisit berbicara tentang filsafat dalam pengertian akademis. Tidak ada diskusi panjang tentang Aristoteles, Rousseau, atau Nietzsche. Namun, gagasan-gagasan besar itu hadir di setiap sisi cerita. Beliau cerdas menyembunyikannya di balik pilihan-pilihan Minke, berupa pertentangan yang ia hadapi dan cara ia memandang dunia di sekitarnya.

Sebagai contoh, misalnya, dalam Bumi Manusia, Minke adalah seorang pemuda pribumi yang berpendidikan tinggi; sebuah hal yang langka pada zamannya. Dengan pendidikan yang ia dapatkan dari Belanda, ia memiliki pandangan yang lebih maju tentang kebebasan dan kesetaraan. Sayangnya, pendidikan itu juga membuatnya menjadi sosok yang terasing dari komunitasnya sendiri. Ia terlalu "Eropa" bagi masyarakat pribumi, tetapi sialnya juga tetap dipandang rendah oleh orang-orang Belanda karena warna kulit dan asal-usulnya.

Di sini, kita melihat bagaimana Pramoedya mengangkat pertanyaan filosofis tentang identitas: Siapa kita sebenarnya ketika dunia memaksa kita memilih prinsip? Apakah kebebasan itu ada jika pilihan yang tersedia sudah ditentukan oleh sistem yang menindas?

Minke, sebagai karakter, adalah medium yang sempurna untuk menyampaikan gagasan-gagasan ini. Ia bukanlah pahlawan yang selalu tahu apa yang harus dilakukan. Ia justru meragukan dirinya sendiri, membuat kesalahan, dan seringkali terjebak dalam kontradiksi antara nilai-nilai yang ia yakini dan realitas yang ia hadapi. Konflik internalnya menjadi cerminan dari konflik sosial yang lebih besar. Ketika ia memperjuangkan keadilan untuk Nyai Ontosoroh---seorang wanita pribumi yang dianggap "tidak bermoral" oleh masyarakat kolonial---kita tidak hanya melihat perjuangan individu, tetapi juga pertarungan ide tentang apa yang benar dan salah, tentang moralitas yang sering kali ditentukan oleh kekuasaan daripada kebenaran.

Tidak kalah menarik adalah karya-karya Eka Kurniawan, yang sering kali memadukan realisme magis dengan elemen-elemen filosofis. Dalam novel Cantik Itu Luka, misalnya, Eka menghadirkan dunia yang absurd. Cerita ini dimulai dengan kembalinya Dewi Ayu, seorang pelacur legendaris, dari kematian. Dari premis yang luar biasa ini, Eka mengembangkan sebuah narasi yang membahas tema-tema seperti dendam, cinta, dan sejarah yang terus menghantui masa kini. Namun, di balik semua absurditas dan humor gelap yang menjadi ciri khas Eka, ada pertanyaan tentang apa itu hidup dan kematian, tentang bagaimana sejarah membentuk identitas kita, dan apakah manusia bisa benar-benar bebas dari dosa-dosa masa lalunya?

Sama halnya dengan Pramoedya Ananta Toer, karya Eka juga menyisipkan filsafat tanpa kehilangan elemen hiburan. Ceritanya pun mengalir dengan lancar, penuh dengan karakter yang unik dan peristiwa-peristiwa yang tidak terduga. Cuma, di balik semua itu, ada lapisan-lapisan makna yang menunggu untuk diungkap. Melalui tokoh Dewi Ayu, misalnya, Eka seolah-olah mengajak kita untuk merenungkan tentang tubuh dan jiwa dan tentang bagaimana masyarakat sering kali memandang manusia hanya dari penampilannya tanpa memperhatikan apa yang ada di dalamnya. Dewi Ayu, meskipun hidup sebagai pelacur, adalah seorang wanita yang kuat, cerdas, dan penuh martabat. Dewi Ayu adalah simbol dari perlawanan terhadap norma-norma sosial yang menindas. Sebuah tema yang sangat filosofis meskipun disampaikan dengan cara yang ringan dan menghibur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun