Tidak hanya itu, Lelaki Harimau, novel lain karya Eka, juga menyentuh tema-tema filosofis. Cerita ini berkisar pada Margio, seorang pemuda yang membunuh seseorang karena dorongan seekor harimau yang hidup di dalam tubuhnya. Di sini, Eka bermain-main dengan konsep tentang kehendak bebas dan determinisme, yaitu sejauh mana tindakan kita ditentukan oleh diri kita sendiri, dan sejauh mana kita hanya menjadi korban dari kekuatan-kekuatan di luar kendali kita.
Harimau dalam tubuh Margio bisa dilihat sebagai metafora untuk kemarahan, trauma, atau bahkan takdir. Dengan cara ini, Eka menggabungkan elemen-elemen mistis dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat manusiawi. Ia menciptakan sebuah cerita yang kompleks: menarik dan juga membuncahkan pemikiran.
Karya lain yang tidak bisa dilewatkan ketika berbicara tentang filsafat dalam fiksi Indonesia adalah Godlob karya Danarto. Cerita-cerita dalam buku ini sering kali melibatkan elemen-elemen mistis dan sufistik. Pembaca serasa dibawa ke dunia, ketika batas antara yang nyata dan yang gaib menjadi kabur. Akan tetapi, di balik semua keanehan dan keindahan visual yang Danarto ciptakan, muncullah kemudian perenungan tentang kehidupan, kematian, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Sayangnya, Danarto tidak pernah mencoba memberikan jawaban secara utuh dalam karyanya itu. Sebaliknya, ia mengajak pembaca untuk bertanya-tanya sendiri dan untuk merenungkan hal-hal yang acapkali kita anggap remeh atau kita terima begitu saja.
Nah, yang membuat karya-karya di atas begitu menarik adalah bagaimana mereka berhasil menyampaikan gagasan-gagasan besar tanpa terasa menggurui. Para penulis ini tidak memaksa pembaca untuk setuju dengan pandangan mereka. Sebaliknya, mereka membuka ruang untuk dialog, mengundang pembaca untuk berpikir sendiri. Inilah kekuatan fiksi filosofis: ia tidak memberikan jawaban, tetapi pertanyaan, yang sering kali jauh lebih penting.
Dalam prosesnya, filsafat menjadi sesuatu yang hidup. filsafat bukan lagi sekadar teori abstrak yang hanya bisa dipahami di ruang kelas atau seminar. filsafat menjadi bagian dari cerita, dari kehidupan tokoh-tokoh yang kita ikuti, dan pada akhirnya, dari diri kita sendiri. Dengan cara ini, filsafat menemukan cara untuk berbicara kepada semua orang, bukan hanya kepada mereka yang sudah terbiasa dengannya.
Menggabungkan filsafat dengan fiksi adalah seni dan juga sebuah tantangan. Penulis harus mampu menjaga keseimbangan antara gagasan dan cerita, antara makna dan hiburan. Namun, ketika hal ini berhasil dilakukan, hasilnya bisa sangat luar biasa. Kita tidak hanya mendapatkan cerita yang menarik, tetapi juga pengalaman membaca yang memperkaya, yang meninggalkan bekas di hati dan pikiran kita. Dan bukankah itu tujuan sejati dari seni?
Seni membuat kita melihat dunia dengan cara yang baru. Seni membuat kita bertanya, dan mungkin, jika kita beruntung, menemukan jawaban tentang filsafat yang selama ini kita cari.
---
Shyants Eleftheria, Freedom of thought
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H