Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Norman Mailer, Sang Gladiator Sastra dari Perang dan Pemberontakan

1 Januari 2025   19:55 Diperbarui: 2 Januari 2025   09:48 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Norman Mailer | Sumber Gambar: Oliver Mark/Wikimedia

Perfeksionisme, ketidakpuasan terhadap hasil karya sendiri, dan ketakutan akan kegagalan adalah musuh-musuhnya. Mailer, dengan reputasinya sebagai penulis yang berani melabrak zona nyaman, kerap berjalan di tepi jurang. Pernyataan bahwa setiap buku "membunuhnya sedikit demi sedikit" tersebut semacam nyanyian kepedihan seorang kreator yang terjebak dalam sekat-sekat pencapaian artistik.

Selain itu, apa yang disebut psikolog sebagai "burnout kreatif" tampaknya menghantui Mailer. Burnout ini tidak hanya mencuri energi, tetapi juga menggerogoti semangatnya hingga tidak tersisa apa-apa kecuali kelelahan. Lihat saja The Naked and the Dead atau The Executioner's Song, ia tidak ragu membongkar keburukan tersembunyi. Setiap paragraf dijadikannya sebagai medan tempur ideologis. Namun, keberanian tersebut datang dengan harga. Kritik, tekanan, dan rasa tanggung jawab untuk terus menulis sesuatu yang mengguncang dunia bagai  api yang membakar lambat, lalu meluluhkan stamina dan jiwanya.

Dalam konteks perubahan zaman, Mailer juga menghadapi tantangan penting seorang penulis: relevansi. Ia hidup di era ketika kata-kata memiliki kekuatan yang hampir sakral, yaitu ketika buku bisa mengubah dunia. Namun, dengan munculnya media baru dan dinamika sosial yang berbeda, posisi seorang penulis pun bergeser. 

Setiap buku yang ia tulis mungkin terasa seperti perjuangan untuk membuktikan bahwa dirinya masih memiliki suara di dunia yang semakin ramai dan terfragmentasi. Menulis, bagi Mailer, adalah upaya untuk mendefinisikan makna hidup dan juga sebuah pengingat akan absurditasnya. Menulis bukanlah sekadar menyusun kalimat; itu adalah cara untuk menantang kekosongan, untuk mengatakan bahwa "aku ada" meski dunia terus berputar tanpa peduli.

Pernyataan Mailer dapat dilihat sebagai refleksi. Setiap buku yang ia tulis adalah cermin dari pergulatan batinnya dan upaya untuk menciptakan sesuatu yang abadi meskipun ia menyadari kefanaan dirinya. Menulis diibaratkan keberanian untuk menghadapi kerapuhan manusia, keberanian untuk tetap berjalan meski tahu jalan itu penuh duri dan jurang. Dalam perspektif ini, pernyataannya menjadi lebih dari sekadar ungkapan kelelahan; itu deklarasi keberanian seorang kreator yang menolak menyerah pada ketakutan atau keputusasaan.

Bagi penulis masa kini, kata-kata Mailer tetap relevan. Di era di mana konten diproduksi dengan kecepatan yang mengejutkan, tekanan untuk tetap menciptakan bisa sangat melumpuhkan. Media sosial dan platform digital menuntut penulis untuk terus "ada" dalam bentuk yang lebih instan, bahkan sering kali dangkal. Dalam konteks ini, refleksi Mailer menjadi pengingat bahwa menulis menuntut totalitas. Namun, pengorbanan ini harus dilakukan dengan kesadaran penuh akan batas-batas diri.

Pelajaran terpenting dari pengalaman Mailer adalah pentingnya menjaga keseimbangan antara dedikasi pada seni dan perhatian terhadap kesehatan mental. Menulis itu panggilan jiwa, tetapi tidak seharusnya menjadi penghancur tubuh dan pikiran. 

Pernyataan "tiap buku yang kutulis membunuhku sedikit demi sedikit" adalah sebuah elegi sekaligus ode untuk perjuangan kreatif. Ia mencerminkan keberanian, penderitaan, dan keindahan proses menciptakan sesuatu yang memiliki arti. Dalam setiap buku yang ia tulis, Mailer meninggalkan potongan dirinya---potongan yang berbicara kepada pembacanya tentang apa artinya menjadi manusia.

Pada akhirnya, Mailer sebuah contoh dari seniman yang tidak pernah berhenti berjuang, meskipun tahu bahwa perjuangannya penuh dengan pengorbanan. Bagi generasi penulis masa kini, ia seorang pengingat bahwa menulis, meskipun melelahkan, adalah salah satu cara paling tulus untuk merayakan kehidupan. Dalam kejujuran brutal Mailer, kita menemukan cerminan diri kita sendiri: keberanian untuk terus berjalan, meskipun tahu bahwa perjalanan itu akan memakan kita sedikit demi sedikit.

---

Shyants Eleftheria, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun