Di dunia sastra, ada sedikit jiwa yang benar-benar menjadi mercusuar. Maksudnya, sastrawan muncul bukan hanya melalui karya mereka, tetapi juga melalui kehidupan yang penuh konflik, keberanian, dan kejujuran yang mentah. Norman Mailer salah satunya. Beliau seorang pejuang kata-kata yang menempatkan hidupnya di garis depan pertarungan eksistensial. Seperti seorang petarung yang tak pernah lelah melawan badai, ia membiarkan setiap kalimat yang ia tulis menjadi pertempuran melawan keheningan, melawan absurditas, melawan kefanaan.
Norman Kingsley Mailer, lahir pada 31 Januari 1923 di Long Branch, New Jersey, tumbuh dalam keluarga Yahudi kelas menengah. Ayahnya, Isaac Barnett Mailer, seorang akuntan, dan ibunya, Fanny Schneider, seorang ibu rumah tangga. Mailer yang lulusan Boys High School di Brooklyn dan kemudian Harvard University, memilih jalur yang berbeda dari kebanyakan rekan seangkatannya. Ia mendalami teknik dirgantara, bidang yang jauh dari sastra, sebelum akhirnya membuktikan bahwa jiwanya terpaut pada dunia kata-kata.
Sebagai salah satu pendiri new journalism, Mailer mencetak jejak dalam sejarah sastra dengan karya-karya yang melesatkan ketenarannya, yaitu The Naked and the Dead, novel yang lahir dari pengalamannya selama Perang Dunia II, sebuah karya epik tentang perang yang tak hanya menggambarkan kekerasan fisik tetapi juga psikologis, dan The Executioner's Song, karya monumental yang mengangkat jurnalisme sastra ke level yang belum pernah dicapai sebelumnya. Di sela itu, ia juga aktif dalam komunitas seni seperti American Academy of Arts and Letters dan The 8th Street Club, tempat ia berbagi gagasan dan bertukar pikiran dengan para intelektual lain.
Kehidupan Mailer penuh warna dan tidak jarang diliputi kontroversi. Ia menikah enam kali, termasuk dengan Norris Church Mailer, yang mendampinginya hingga akhir hayatnya. Hubungan-hubungan ini, bersama dengan delapan anaknya, sering menjadi inspirasi maupun konflik dalam karyanya. Dari Provinsi Paris, tempat ia mengenyam pendidikan, hingga Provincetown, tempat ia dimakamkan, Mailer meninggalkan jejak yang tidak terhapuskan dalam sejarah.
Mailer adalah salah satu penulis paling kontroversial dan berpengaruh abad ke-20. Ia menguasai lanskap kesusastraan dengan keberanian dan kejujurannya yang brutal. Mailer tak hanya dikenal sebagai novelis; ia juga seorang jurnalis, esais, dan pembuat film yang gemar menantang norma dan mengeksplorasi kompleksitas manusia. Sering kali di dalam karyanya, ia menunjukkan bahwa menulis bukan sekadar seni; itu adalah tindakan pemberontakan terhadap stagnasi intelektual dan sosial.
Buku-buku seperti The Executioner's Song---sebuah kisah nyata tentang pembunuh Gary Gilmore yang menggabungkan jurnalisme dengan narasi sastra---dan Advertisements for Myself mencerminkan keberanian Mailer untuk menggali wilayah-wilayah gelap dari jiwa manusia.Â
Dalam tulisannya, ia menjelajahi tema-tema besar seperti perang, cinta, kematian, dan keanehan hidup, sering kali dengan gaya yang provokatif dan kontroversial. Mailer adalah pendiri gaya "new journalism" yang menggabungkan fakta dengan interpretasi subjektif, sebuah pendekatan yang mengilhami generasi penulis setelahnya.
Namun, kehidupan kreatif Mailer bukan tanpa pengorbanan. Pernyataannya yang terkenal dalam wawancara terakhirnya sebelum meninggal dunia, "Tiap buku yang kutulis membunuhku sedikit demi sedikit" jelas mengandung kemaknaan khusus. Ia menggambarkan hubungan kompleks antara proses kreatif dan keberadaan manusia.Â
Menulis, bagi Mailer, sebuah tindakan totalitas yang melibatkan jiwa dan raga. Dalam setiap prosesnya, ia menggali kedalaman emosional, mengonfrontasi ketakutan, dan mengorbankan bagian dari dirinya sendiri untuk menciptakan sesuatu yang abadi.
Proses kreatif Mailer dapat diibaratkan seperti seorang pemahat yang memahat dirinya sedikit demi sedikit hingga hanya tersisa serpihan. Setiap kata yang ia tulis adalah bagian dari pengorbanan, tempat kata-kata menjadi altar, dan jiwa menjadi persembahan. Menulis baginya juga arena gladiator yang menuntut keberanian luar biasa.Â