Cerita-cerita yang pernah kita baca tentang hampir semua hal, berupa identitas, keyakinan, persahabatan, keluarga, masyarakat, dan sebagainya, tentu tidak hanya menghibur, tetapi juga media yang mengajarkan dan membentuk persepsi kita tentang dunia. Melalui cerita-cerita tersebut, kita belajar tentang nilai-nilai, moralitas, dan apa yang dianggap sebagai sesuatu yang baik dan yang buruk.
Namun, menurut Kurt Vonnegut, penulis Amerika terkenal abad ke-20 dengan gaya satir yang kuat dan sering membahas tentang bagaimana kehidupan manusia berjalan dalam siklus yang tidak pernah benar-benar selesai, ia berpendapat bahwa sebagian besar cerita jarang menceritakan kebenaran, alias menyajikan "kebohongan".
Setelah mempelajari cerita dari sudut pandang antropologi dan  memeriksa hubungannya dengan berbagai budaya, Vonnegut menemukan bahwa cerita-cerita fiksi di sekeliling kita, termasuk jenis mitos di banyak budaya, kebanyakan memiliki bentuk serupa. Bentuk-bentuk ini dapat ditemukan dengan membuat grafik perjalanan cerita. Kebanyakan cerita, katanya, dapat dipetakan sebagai perjalanan yang bergerak sepanjang poros antara nasib baik dan nasib buruk. Ini berarti bahwa kita terbiasa dengan cerita yang menggambarkan perjalanan seorang protagonis, yang setelah melewati berbagai tantangan, akhirnya mencapai kesimpulan yang lebih baik dari posisi awalnya.
Menurut analisis Vonnegut, dari argumennya yang paling menarik, pola serupa semacam itu telah menciptakan narasi yang tidak realistis. Pada kenyataannya, realitas kehidupan tidak selalu sesederhana itu. Hidup sering kali tidak mengikuti jalan yang jelas antara hal yang baik dan yang buruk. Sebaliknya, kehidupan penuh dengan ambiguitas, ketidakpastian, dan perubahan yang tidak selalu bisa kita pahami atau kategorikan secara definitif sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Dengan kata lain, Vonnegut berpendapat bahwa cerita yang lebih jujur adalah cerita yang tidak memiliki puncak moral atau kesimpulan pasti, melainkan cerita yang hanya berlanjut tanpa akhir yang jelas.
Sebagian besar cerita yang kita kenal memang mengikuti kurva keberuntungan. Di dalamnya, protagonis memulai dari suatu titik, biasanya di tempat yang netral atau buruk, dan melalui serangkaian peristiwa, mereka akhirnya mencapai tempat yang lebih baik. Bentuk cerita ini bisa kita lihat di hampir semua dongeng klasik, novel populer, film-film lokal hingga film Hollywood, dan sebagainya. Struktur cerita ini sangat familiar karena kita sebagai manusia cenderung menyukai cerita yang menawarkan solusi atau resolusi. Kita merasa puas ketika protagonis berhasil melewati rintangan dan mencapai kebahagiaan di akhir.
Contoh paling umum adalah kisah Cinderella. Cinderella, seorang gadis miskin yang menderita di tangan ibu tirinya, akhirnya bertemu dengan pangeran, menikah, dan hidup bahagia selamanya. Perjalanan Cinderella mengikuti pola kurva yang sangat jelas, yakni dimulai dari kesulitan, diikuti dengan peningkatan nasibnya setelah bertemu pangeran, dan berakhir dengan bahagia. Kisah ini menawarkan kelegaan bagi para pendengar atau pembaca karena mengesankan bahwa penderitaan akan selalu berujung pada kebahagiaan. Ini adalah pola cerita yang sangat kita kenal dan secara psikologis, yaitu pola yang memberikan kepuasan emosional.
Namun, Vonnegut berargumen bahwa cerita seperti ini tidak sepenuhnya menggambarkan kenyataan. Hidup tidak selalu berakhir dengan kebahagiaan yang jelas atau kemenangan moral. Kadang-kadang, hal-hal yang tampak baik justru membawa konsekuensi buruk, dan sebaliknya, sesuatu yang tampaknya buruk mungkin membawa hasil yang baik di kemudian hari. Kehidupan adalah rangkaian kejadian yang tidak dapat diprediksi dengan mudah dan sering kali tidak memiliki kesimpulan yang jelas. Ini adalah alasan mengapa Vonnegut menggambarkan banyak cerita sebagai sebuah "kebohongan."
Meski demikian, salah satu contoh cerita yang menjadi acuan Vonnegut, walau dengan bentuk yang lurus, tetapi ini berbeda dengan cerita yang mengikuti kurva keberuntungan, adalah lakon Hamlet karya William Shakespeare---sebuah lakon yang telah dan terus dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu lakon terbaik dan paling terkenal, dan mungkin karya secara umum, sepanjang masa.
Hamlet adalah cerita yang bergerak maju, tetapi tidak ada puncak atau kesimpulan moral yang jelas. Hamlet, sang protagonis, menghadapi berbagai tantangan, termasuk kematian ayahnya, pengkhianatan keluarganya, dan kekacauan di kerajaan. Sepanjang cerita, Hamlet berubah, tetapi tidak ada titik di mana penonton dapat dengan yakin mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi adalah baik atau buruk. Bahkan pada akhir cerita, ketika banyak karakter termasuk Hamlet sendiri tewas, kita dibiarkan bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang benar-benar terselesaikan atau apakah kita, seperti Hamlet, hanya terseret dalam aliran peristiwa yang tidak terkendali.
Inilah yang dimaksud Vonnegut sebagai bentuk cerita yang lebih realistis. Garis lurus kehidupan, tanpa lonjakan nasib baik dan buruk yang jelas, merupakan cerminan yang lebih jujur dari pengalaman kebanyakan manusia. Hidup tidak selalu memberi kita momen puncak yang mudah dikenali, dan terkadang, kita tidak tahu apakah keputusan yang kita buat adalah benar atau salah sampai jauh di kemudian hari, bahkan jika kita pernah tahu sama sekali.