Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Seni Mengemas Emosi dalam Cerita Pendek

12 Oktober 2024   20:11 Diperbarui: 12 Oktober 2024   20:21 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca cerita pendek itu sangat seru. Bayangkan, dengan cerita yang cukup singkat, pembaca seolah-olah masuk ke dunia lain. Pembaca seperti ikut merasakan sesuatu yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam cerita, bahkan hingga merenungkannya setelah membaca.

Nah, pertanyaan yang sering kali muncul adalah bagaimana cerita pendek bisa begitu mengena perasaan? Ya, jawabannya tentu saja adalah adanya emosi cerita. 

Emosi dalam cerita pendek itu bagaikan bumbu yang membuat masakan menjadi lezat. Tanpa emosi, mungkin cerita masih bisa dipahami, tetapi rasanya akan hambar dan kurang menggigit. Setiap kata, kalimat, dan paragraf punya peran penting untuk membangun koneksi emosional antara cerita dan pembaca. Di sinilah kemampuan penulis diuji. 

Namun, bagaimana kita sebagai penulis mampu membangkitkan emosi pembaca dalam waktu yang singkat?

Ciptakanlah Tokoh Terkait

Perumpamaan tokoh dalam cerita pendek itu adalah sebagai tamu istimewa yang hanya memiliki sedikit waktu untuk membuat kesan mendalam bagi pembaca. Karena terbatasnya ruang untuk cerita pendek, penulis sebaiknya tidak perlu terlalu banyak dan berbelit-belit memperkenalkan tokoh, tetapi cukup memilih beberapa ciri utama yang langsung menggambarkan siapa tokoh di dalam cerita dan seberapa penting tokoh tersebut.

Sebagai contoh, narasi dalam cerpen "Sang Pemahat" oleh Budi Darma:

Ini dia, sang pemahat terkenal, Jiglong namanya, nama asli dari kedua orang tuanya di desa, bukan nama buatan setelah dia terkenal atau ingin terkenal. Dua gigi depan Jiglong sudah lama rontok, dan tidak pernah diperbaiki. Wajahnya memendam bekas luka-luka lama, yang juga tidak pernah diobati. Cara Jiglong berjalan biasa, tapi kalau diamat-amati akan tampak, dia agak pincang.

.... 

Berapa umur Jiglong tidak ada yang tahu, bahkan Jiglong sendiri pun tidak tahu. Dia lahir dari rahim seorang perempuan desa, buta huruf, dan tidak mempunyai pekerjaan kecuali kalau disewa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Ayahnya, Sowirono namanya, sama dengan istrinya, buta huruf, tidak mempunyai apa-apa."

Kalimat-kalimat dalam cerita tersebut langsung membawa pembaca ke dalam kehidupan dan latar belakang sang pemahat, Jiglong, yang penuh dengan kesederhanaan dan kesulitan. Dengan deskripsi singkat tapi detail, pembaca segera memahami bahwa Jiglong adalah seorang yang terbentuk oleh kerasnya kehidupan di desa. Tidak hanya itu, gambaran fisik seperti gigi yang rontok, wajah dengan bekas luka, dan cara berjalan yang sedikit pincang, dapat menimbulkan rasa simpati dan keingintahuan tentang kehidupannya.

Bangunlah Sebuah Konflik

Penulis sebaiknya membuat konflik yang padat dan signifikan dan langsung tertuju ke inti karena tidak banyak ruang untuk bertele-tele. Konflik ini bisa berupa pergulatan batin tokoh, atau konflik dengan tokoh lain atau lingkungan.

Berikut adalah satu kalimat panjang yang memunculkan konflik tajam dari cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" karya Kuntowijoyo:

Aku tidak tahu, mengapa aku masih bisa duduk di sini menikmati indahnya bunga-bunga, sementara di luar sana ada anak-anak yang menangis kelaparan, ada petani yang tanahnya dirampas, dan ada perempuan-perempuan yang dipaksa menjual tubuhnya---dan aku, dengan egoisme yang entah dari mana, merasa berhak untuk menikmati keindahan ini tanpa merasa bersalah.

Kalimat ini menunjukkan dengan jelas pergulatan batin tokoh utama yang berjuang menghadapi rasa bersalah karena menikmati sesuatu yang indah sementara orang lain menderita.

Memunculkan Ketegangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun