Bermula, dokter menyarankan kami untuk pindah ke wilayah yang lebih hangat supaya Ayah cepat sembuh. Aku tidak tahu harus bagaimana, tetapi kupastikan, aku tidak mau membuat orang tuaku repot dengan mengatakan bahwa aku sebenarnya lebih suka tinggal di kota besar daripada bermukim di kota kecil yang sepi ini.
Hari pertama di sekolah baruku, Ibu yang mengantar.
"Bu, Ayah bisa menjemputku pulang sekolah hari ini?"
"Tidak, Galang, kau bisa berjalan pulang sendiri, kan?"
"Tapi, Bu---"
"Kau bukan anak-anak lagi," potong Ibu, lalu ia meninggalkanku di gerbang sekolah.
Saat itulah, di hari pertamaku di sekolah, aku bertemu dengan seorang anak laki-laki. Ekspresi wajahnya seperti mengancam. Ia berjalan melewatiku dengan langkah cepat, masuk ke dalam kelas. Ternyata, kami berada di kelas yang sama. Saat pak guru mengabsensi nama siswa satu persatu---di kelasku ini hanya terisi delapan belas siswa---aku jadi tahu kalau namanya Marcus.
Bel istirahat berbunyi, anak-anak mulai ramai bermain. Mereka berbicara satu sama lain, bising. Aku memilih duduk di bawah pohon akasia sambil membaca buku, karena tidak ada satu pun yang mengajakku bermain. Mereka terlihat asyik berkelompok dan kulihat Marcus bermain bola plastik besar bersama tiga teman laki-lakinya. Ada juga satu anak perempuan di sana, tetapi ia hanya berdiri melihat permainan itu.
Marcus mendekatiku. Sedari tadi memang sempat kulirik-lirik, ia seperti memperhatikanku sesekali.
"Kau ingin bermain?" Marcus bertanya.