Ketidakpastian tentang masa depan ini sering kali cukup menakutkan untuk membuat kita terjebak dalam situasi yang tidak sehat. Kita takut meninggalkan yang sudah kita kenal untuk sesuatu yang tidak pasti.
Jadi, Kapan Harus Pergi Menjauh?
Menentukan kapan waktunya untuk pergi memang tidak mudah. Jawaban atas pertanyaan ini bersifat subjektif, tergantung pada banyak faktor. Filsuf Stoik, Epictetus, memberi perumpamaan yang dapat membantu: Bayangkan ada asap di rumah. Jika asapnya sedikit dan rumah masih bisa ditinggali, tidak apa-apa untuk tetap tinggal. Namun, jika asapnya terlalu banyak hingga menjadi bahaya, mungkin saatnya untuk pergi.
Perumpamaan ini adalah metafora yang kuat untuk memutuskan kapan kita harus menjauh dari situasi berbahaya. Namun, dalam praktiknya, menentukan apa yang dimaksud dengan "terlalu banyak asap" bisa sulit. Terkadang, bahaya yang dihadapi sangat jelas, seperti dalam kasus kekerasan fisik. Namun sering kali, situasinya lebih kompleks, sehingga kita kesulitan untuk melihat apakah sudah waktunya untuk pergi.
Bagaimana Mengidentifikasi "Asap" Itu?
Mari kita beralih sejenak dari filsafat dan menggunakan konsep ekonomi untuk memperjelas analogi ini. Salah satu caranya adalah dengan membuat daftar pro dan kontra dari tetap berada dalam situasi tertentu, apakah itu pekerjaan, hubungan, atau tempat tinggal. Ini dikenal sebagai analisis biaya-manfaat. Manfaatnya mungkin alasan awal kita masuk ke dalam situasi tersebut, seperti kenyamanan, kebahagiaan, atau rasa aman.
Namun, seiring waktu, "biaya" seperti ketidaknyamanan, tekanan mental, dan resiko kesehatan mungkin mulai muncul. Jika biaya ini lebih besar dari manfaatnya, kita bisa menyimpulkan bahwa terlalu banyak "asap" di dalam rumah. Dalam hubungan pertemanan, misalnya, jika terus-menerus dikhianati, ditinggalkan, atau direndahkan, mungkin saatnya untuk menjauh meskipun ada kenangan indah yang pernah terjadi.
Kekeliruan Sunk Cost dan Biaya Peluang
Sering kali, meskipun jelas bahwa biaya sudah lebih besar dari manfaat, kita tetap berada dalam situasi tersebut. Mengapa? Salah satu alasannya adalah kekeliruan sunk cost---keyakinan bahwa karena kita sudah menginvestasikan banyak waktu, emosi, atau sumber daya dalam hubungan atau situasi tersebut, kita harus bertahan, walaupun jelas-jelas tidak menguntungkan lagi.
Misalnya, seseorang mungkin bertahan dalam hubungan persahabatan yang tidak sehat karena sudah berteman sejak lama. Namun, investasi masa lalu ini sudah "tenggelam" dan tidak bisa diambil kembali. Mengakui kekeliruan sunk cost dapat membantu kita memutuskan berdasarkan apa yang baik untuk masa kini dan masa depan, tanpa terbebani oleh apa yang telah hilang.
Konsep ekonomi lain yang relevan adalah biaya peluang. Setiap waktu yang kita habiskan dalam hubungan yang beracun adalah waktu yang tidak kita habiskan untuk sesuatu yang lebih baik. Dengan tetap berada dalam situasi berbahaya, kita bukan hanya kehilangan kebahagiaan, tetapi juga peluang untuk menemukan kebahagiaan di tempat lain.
Mungkin di luar sana ada persahabatan yang lebih sehat dan bermakna, atau lingkungan yang lebih mendukung. Jika kita tetap terjebak, kita mengorbankan potensi manfaat ini. Jadi, alih-alih hanya bertanya, "Apa risikonya jika saya pergi?" kita juga harus bertanya, "Apa risikonya jika saya tetap tinggal?"
Mengambil Lompatan Kepercayaan
Terakhir, kita harus ingat bahwa saat kita meninggalkan sesuatu, kita juga berjalan menuju sesuatu yang baru. Meskipun ketidakpastian bisa menakutkan, dunia ini penuh dengan peluang. Kita tidak harus merasa terjebak dalam "asap" yang menyesakkan. Ada banyak rumah dengan udara bersih di luar sana, dan kita hanya perlu berani untuk mencarinya.
Alan Watts pernah berkata, "Tidak ada kehidupan yang berharga tanpa risiko." Jadi, meskipun kita tidak tahu apa yang menanti di depan, bukankah lebih baik mengambil risiko daripada tetap terperangkap dalam situasi yang membuat kita menderita?