Aku terbangun pada tengah malam karena mendengar kata-kata yang menggema di kepalaku:
"Jangan takut pada kesunyian, berdamailah dengannya, sebab di saat-saat sunyi itulah pesan khusus untukmu akan tersampaikan."Â
Kata-kata itu menancap dalam benakku. Aku menyadari, sering kali orang-orang begitu takut pada kesunyian, termasuk diriku. Mungkin itulah sebabnya orang-orang cenderung membiarkan televisi, radio, atau ponsel terus menyala, seolah-olah kebisingan mampu mengusir ketakutan terhadap sunyi.
Namun, aku tahu bahwa dalam sunyi, kehidupan terkadang terkunci dalam kata-kata yang tidak terucap. Aku harus belajar memahami apa yang ingin disampaikan oleh sunyi. Kata-kata, meskipun tak terlihat, memiliki energi yang mengalir tanpa henti. Ketika ruang waktu yang tenang muncul di antara kata-kata itu, aku bisa berkonsultasi dengan diriku sendiri, merenungkan langkah apa yang harus kuambil selanjutnya.
Tidak semua pertanyaan hidup harus aku jawab dengan kata-kata. Terkadang, jawabannya datang bisa melalui anggukan pelan, pelukan hangat, senyum tulus, atau sekadar tatapan lembut di mataku. Bahkan, ada kalanya kesunyian itu sendiri adalah jawaban terbaik.
Berdamai dengan kesunyian berarti harus lebih dulu berdamai dengan diri sendiri. Maka aku harus belajar menjadi sahabat terbaik bagi diriku sendiri, menghargainya dan menerimanya. Bukankah begitu cara kita semua memandang sahabat sejati?
Ketakutanku terhadap kesunyian mungkin berasal dari ketidaksanggupanku untuk benar-benar mengenal dan menerima diri sendiri. Aku menyadari bahwa aku belum sepenuhnya belajar menyukai diriku. Bahkan, hingga saat ini, aku masih sering merasa tidak puas terhadap diriku. Jika bisa belajar untuk menerima diri apa adanya, mungkin momen-momen sunyi itu tidak akan lagi terasa menakut lagi bagiku.
Aku telah membuka pintu hati. Jika pintu itu terasa kaku, berderit, dan berkeluh, aku akan mendorong dan memaksanya hingga terbuka. Mungkin aku harus membersihkan jaring laba-laba di dalamnya---akan kulakukan, meskipun itu membuatku bergidik.
Aku menemukan bahwa hatiku penuh sesak dan berdebu, seperti loteng yang tak pernah kumasuki. Di sini, aku menggali lebih dalam bahwa menerima dan mencintai diriku sendiri tidak terjadi dalam semalam.
Kesunyian adalah awal dari perjalananku. Kesunyian itu mengajariku untuk melepaskan banyak hal. Ia mengajarkanku untuk benar-benar berteman dengan diriku sendiri, untuk tidak terlalu keras pada diriku. Ia mengajarkanku untuk memaafkan diriku. Kepahitan, kemarahan, dendam, semuanya harus kulepaskan.