Tentu saja, ada tingkat yang berbeda. Kesepian dalam bentuk ekstrem, ketika seseorang mengalami isolasi atau kebutuhan sosialnya tidak terpenuhi, kesepian itu bisa sangat melumpuhkan dan menyebabkan masalah fisik maupun psikologis. Bentuk-bentuk ini tidak semestinya diabaikan begitu saja sebagai sesuatu yang tidak terelakkan dan tanpa harapan untuk diperbaiki. Intinya adalah, bahkan orang yang paling sosial sekalipun dan orang yang paling puas dalam kesendirian, tetap memiliki bentuk kesepian.
Carl Gustav Jung, psikolog dan psikiater Swiss yang menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang psikologi modern, mengatakan, "Kesepian bukan datang dari tidak adanya orang di sekitar, melainkan dari ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan hal-hal yang dianggap penting oleh diri sendiri, atau dari memegang pandangan-pandangan yang dianggap tidak dapat diterima oleh orang lain." Jadi, bisa dibilang, kita semua mengalami ketidakmampuan dan ketidakcocokan perkara ini pada tingkat tertentu. Dengan begitu, artinya, kita semua merasakan bentuk kesepian eksistensial ini.
Persepsi sosial yang salah tentang kesepian membuat banyak dari kita merasa lebih kesepian, merasa bahwa kita adalah satu-satunya yang merasakannya. Maka, yang kita butuhkan adalah pengingat bahwa merasakan keterpisahan, merasa aneh, merasa gila, atau merasa bahwa tidak ada seorang pun yang mengerti kita, sebenarnya adalah sesuatu yang menghubungkan kita semua. Kita tidak mengalami kesendirian justru ketika kita merasa sendirian.
Salah satu tempat di mana kita sering kali menemukan pengingat ini adalah dalam seni dan filsafat. Dalam pengertian yang luas---baik itu sastra, musik, puisi, lukisan, atau apa pun yang menunjukkan kepada kita bahwa, seperti halnya di dalam diri kita, hal-hal kompleks dan tersembunyi juga ada di dalam diri orang lain meskipun mungkin tidak hal yang sama, setidaknya ada perasaan yang sama bahwa ada hal-hal yang sulit dibagikan.
Menciptakan dan menikmati seni serta filsafat mengisyaratkan bagian-bagian abstrak dari diri kita mungkin disebabkan kita belum benar-benar menemukan orang yang tepat, atau mungkin belum menemukan keberanian atau bahkan cara untuk membagikannya. Apa yang kita ceritakan di permukaan, apa yang kita dengar melalui nada, apa yang kita pahami melalui goresan, sering kali adalah rahasia yang mungkin tidak pernah atau tidak bisa kita bagikan atau ketahui dengan cara lain.
Seni dan filsafat tidak menyelesaikan masalah kesepian eksistensial dengan menyatukan ketidaksesuaian antara diri kita dan dunia, tetapi memungkinkan kita untuk merasakan bahwa orang lain juga merasakan hal yang serupa. Tidak akan pernah ada jembatan yang sepenuhnya terbangun antara dunia dan pikiran kita, tetapi karya seni dan filsafat bagaikan tebing tempat kita berdiri sesekali untuk melihat bahwa ada orang lain di luar sana, terdampar dan sendirian, seperti kita.
David Foster dalam kata-katanya, "Sastra adalah salah satu dari sedikit pengalaman di mana kesepian bisa dihadapi dan diringankan. Obat-obatan, film-film dengan ledakan keras, pesta-pesta ramai---semua ini mengusir kesepian dengan membuatku lupa bahwa namaku "Dave" dan aku tinggal di sebuah kotak tulang berukuran satu per satu yang tak bisa ditembus atau dikenal oleh siapa pun. Fiksi, puisi, musik, dalam berbagai cara, termasuk agama---ini adalah tempat-tempat (bagiku) di mana kesepian dihadapi, ditatap, diubah, diperlakukan. Dalam banyak hal, inilah satu-satunya hal yang ada."
---
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H