Mengetahui semua ini, apakah masih bodoh untuk berpikir bahwa mungkin lebih baik kita menikmati kesenangan yang kita miliki saat ini?
Definisi Hedonisme dalam Dua Pandangan Filosofis
Socrates dan filsuf-filsuf lainnya pada masa itu tentu saja menolak gagasan tersebut. Banyak dari mereka yang membenci hedonisme karena menganggap bahwa tujuan akhir dari keberadaan manusia hanyalah mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit, yang bagi mereka terdengar sia-sia.
Pertentangan ini, ditambah dengan kebangkitan agama di Yunani saat itu, menyebabkan gagasan hedonisme yang tergesa-gesa ini mati bersama Aristippos. Bertahun-tahun kemudian, Epicurus, yang dianggap sebagai bapak hedonisme modern, mendefinisikan ulang apa itu hedonisme. Untuk melakukannya, ia harus memulai dengan mendefinisikan ulang satu kata penting---kesenangan.
Bagi Aristippos, kesenangan adalah keadaan ekstase dan kegembiraan---perasaan luar biasa yang kitaa rasakan, misalnya, setelah mencicipi roti seharga ratusan ribu di pagi hari di sebuah hotel berbintang atau setelah berbelanja barang-barang mewah di luar negeri dengan menggunakan jet pribadi, nah, kebanyakan dari kita, inilah cara kita mendefinisikan kesenangan.
Namun, bagi Epicurus, kesenangan memiliki makna yang berbeda. Bagi Epicurus, kesenangan adalah keadaan ketenangan dan kedamaian batin. Alih-alih mendorong orang untuk terus-menerus memanjakan diri dalam kepuasan duniawi, Epicurus percaya bahwa arti sejati dari kesenangan adalah menghilangkan rasa takut akan kematian dan Tuhan. Hanya dengan cara ini seseorang dapat sepenuhnya menikmati apa yang ditawarkan kehidupan.
Sementara Aristippos hanya mendorong orang untuk mengejar kesenangan, Epicurus percaya bahwa semua manusia secara alami melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan kesenangan dan menghindari rasa sakit. Ia tidak menganjurkan perilaku ini, melainkan menganggapnya sebagai kondisi ilmiah kita sebagai manusia.
Untuk mendukung pendapatnya, Epicurus mengajak semua orang untuk melihat bagaimana bayi memandang dunia di sekitar mereka. Meskipun bayi belum sepenuhnya memahami cara kerja dunia, mereka memahami dua hal: ketika sesuatu terasa baik dan ketika sesuatu terasa buruk. Ketika sesuatu terasa menyenangkan, bayi menjadi gembira dan bahagia. Sebaliknya, ketika sesuatu terasa tidak enak, bayi menangis karena ingin rasa sakit itu berhenti dan ingin kembali ke keadaan yang menyenangkan.
Kemudian, mungkin kita bertanya-tanya, jika semua manusia mengejar kesenangan, bagaimana dengan tindakan tanpa pamrih? Apakah perbuatan yang dilakukan semata-mata karena berbudi luhur atau demi kepentingan orang lain, dan bukan diri kita sendiri, adalah salah? Bagaimana kita mendeskripsikannya?
Nah, dalam pemikiran hedonistik, alasan utama seseorang melakukan sesuatu adalah karena hal tersebut membuat mereka merasa heroik, pada akhirnya diproses di otak sebagai perasaan menyenangkan. Pada dasarnya, mereka tetap mengejar kesenangan, meskipun bukan kesenangan yang mungkin kita bayangkan.
Dampak Hedonisme Terhadap Keadilan dan Moralitas
Menurut ajaran hedonistik, ada dua jenis kesenangan: kesenangan yang membahagiakan dan kesenangan yang statis.
Kesenangan yang membahagiakan adalah saat kita sedang dalam proses memuaskan suatu keinginan. Misalnya, saat lapar kita makan, saat haus kita minum, dan saat butuh istirahat kita tidur. Sementara itu, kenikmatan statis adalah ketenangan yang kita rasakan setelah selesai memenuhi kebutuhan tersebut. Pada titik ini, adrenalin telah selesai mengalir melalui pembuluh darah dan kita merasakan kepuasan yang manis. Pada saat ini, kita akan merasakan suatu rasa ketenangan yang terus berlanjut hingga akhirnya digantikan oleh rasa sakit. Namun, menurut Epicurus, tidak ada di antara keduanya. Kesenangan adalah tidak adanya rasa sakit, dan sebaliknya.