Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hutan, Kemarahan, dan Rasa Malu

17 Agustus 2024   12:18 Diperbarui: 17 Agustus 2024   17:42 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hutan | sumber gambar pixabay

Aku pernah mendapatkan hadiah cangkir teh yang bertuliskan "Forest" atau hutan, dan itu keren sekali. 

Hutan bagiku adalah tempat perlindungan, rimbun, nyaman, sangat tenang, dipenuhi dengan hidup yang indah. Jika bisa menghabiskan satu hari saja dengan berdiam diri di hutan, aku akan sangat-sangat bahagia. Saat di hutan, aku mudah merasa tercerahkan, tidak seperti di kota dengan kebisingan dan orang-orangnya meski melakukan hal-hal yang normal.

Salah satu tantangan terbesar dalam hidupku adalah tentang kemarahan. Aku bisa menjadi pribadi yang mampu menghakimi, frustrasi, dan tidak sabar. 

Pernah, aku sangat marah kepada diriku karena telah merundung sahabatku sendiri. Kemarahanku sebenarnya bukan hanya kepadanya, tetapi juga kepada komunitas dan budaya yang kurasa tidak memberikan apa yang seharusnya kumiliki sehingga sahabatku menjadi sasaran kemarahanku.

Kendati aku memahami konsep manajemen emosi, entah bagaimana menurutku, pengetahuan itu  telah gagal secara dramatis untuk membantuku memahami, atau bahkan tidak membuat aku bisa mengomunikasikan kemarahanku dengan cara yang sehat. Padahal, aku menginginkan ada satu cara untuk mengarahkanku sehingga bisa memberikan nikmat kedamaian dalam hidup. Ada kekosongan dalam kebijakan diriku sendiri, yang membuatku kesulitan mengatur emosi. Sayangnya, sahabatku menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kemarahan ini.

Siapa pun, mungkin kita semua, cenderung mencari pelampiasan emosi, menemukannya dari tempat yang seharusnya, dan menyalurkannya ke hal-hal yang seharusnya bisa kita abaikan.

Ada begitu banyak cerita ketika seseorang meninggal dunia, seseorang lainnya yang ditinggalkan akan memikirkan tentangnya. Mereka belum saling memaafkan hanya kerena mereka tidak sempat berbicara dan meminta maaf.

Aku tidak ingin mati seperti itu dan tidak ingin pula hidup seperti itu. 

Maka aku ingin mendatangi sahabatku, ingin memberitahukannya bahwa aku menyesal dan malu. Pada kenyataan bahwa aku pernah memanggilnya dengan beberapa sebutan yang meremehkan, merendahkan harga dirinya, semua itu adalah sesuatu yang akan selalu terngiang-ngiang sepanjang hidupku.

Aku ingin kami bisa mengobrol lebih banyak tentang itu. Sebuah keajaiban dan berkah ketika kami bisa membicarakannya, bisa memperbaikinya, dan menyembuhkannya meski aku menyadari bahwa luka yang kami miliki masing-masing mungkin akan terus ada. Aku berharap dia memaafkanku dalam banyak kesempatan, pun aku sudah memaafkan diriku sendiri dalam banyak kesempatan. 

Walau demikian, satu hal masih tetap membuatku sedih karena bagian lain dari diriku tidak menyukai hubungan yang berbeda, yang tentu jauh dari kata harmonis seperti di awal hubungan. Namun, ya, itulah kehidupan.

Salah satu emosi yang paling suci adalah rasa malu. Rasa malu adalah semacam anugerah yang membuat seseorang tetap menjadi manusia. Tanpa memiliki rasa malu, seseorang tidak tahu kapan melakukan sesuatu yang salah dan tidak dapat membuat pilihan untuk memperbaikinya. 

Rasa malu juga semacam kompas hidup yang bisa mengarahkan dan menavigasi seseorang menjadi lebih baik---Kadang-kadang, untuk beberapa alasan budaya hidup atau maskulinitas beracun, seseorang rela membanting rasa malunya sendiri.

Aku tidak malu mengakui emosiku. Secepatnya setelah lari dari kemarahan, aku hanya tinggal mengatur proses penderitaan yang lambat ini. Memang, yang terjadi ketika marah, aku tidak tahu mengapa kemarahan itu bisa menjadi energi beracun bagi diriku sendiri. Aku tidak tahu mengapa aku marah dan apa yang salah denganku.

Kesadaran sering kali merupakan obatnya. Aku merasa perlu adanya semacam proses untuk mendengarkan kemarahanku sendiri. Mungkin aku harus jujur kepada diriku sendiri, mengapa aku memiliki perasaan ini. Aku yakin semacam pesan akan datang kepadaku, meski belum tahu apa itu, tetapi biarlah aku meluangkan beberapa waktu untuk merenungkannya.

Hubunganku dengan orang lain menjadi cermin dan refleksi dari aspek nyata yang ada dalam diriku. Ketika menemukan hal-hal yang tidak aku sukai, aku menyadari sebenarnya ada sesuatu hikmah besar untukku. 

Mungkin ini kesempatan untukku mengatakan bahwa aku akhirnya harus menghadapi risiko kemarahanku dan apa yang bisa aku pelajari dari risiko tersebut. Aku mengingatkan diriku tentang perspektif emosi bahwa apa pun yang aku alami sekarang di dalamnya selalu ada hikmah, ada pelajaran.

Beberapa cara yang membuatku lebih paham adalah dengan bertanya, aku ingin menjadi apa dan siapa? Aku tidak selalu menjadi apa yang aku inginkan. Aku tidak selalu sabar, tidak selalu penuh kasih, baik hati, penyayang, seperti yang aku inginkan. Namun, bolehlah aku mencobanya.

Saat ini, kemarahan seperti api yang menyala-nyala, ini yang bisa aku rasakan. Sekali lagi, aku tidak begitu malu mengakuinya, bahkan aku sangat lelah dan menghormatinya. Sejujurnya, aku tidak ingin membakar orang lain. Aku pun tidak ingin membakar diriku sendiri. Aku tetap yakin pasti ada cara meredam dan mendinginkan emosi ini.

Aku telah mencoba melihat kemarahan melalui lensa kasih sayang. Aku menyadari bahwa orang-orang bisa berbuat kerusakan ketika mereka telah rusak dan orang-orang membuat penderitaan ketika mereka menderita. Jika bisa menemukan belas kasih itu untuk orang lain, aku juga menemukannya untuk diriku sendiri. Pada akhirnya, kegembiraanku terkait dengan seberapa besar belas kasih yang kumiliki untuk diriku dan orang lain, keduanya harus berjalan beriringan: Makin lembut, penuh kasih, baik hatinya aku kepada diriku sendiri, makin aku bisa menjadi seperti itu bagi orang lain, dan makin aku menemukan diriku mampu untuk merasa bahwa aku juga layak mendapatkannya.

Jadi, hutan itu pada dasarnya tentu telah membuatku berlembut hati dan selalu mengingatkanku tentang berharganya hidup. Hutan juga mengingatkanku tentang betapa singkatnya hidupku ini dibandingkan hutan yang mampu berusia jutaan tahun.

Aku melihat kehidupan secara metafora dari hutan dan isinya. Banyak kehidupan tumbuhan dan hewan-hewan penghuninya. Bagiku, seperti itulah hidup. Meski demikian, aku tidak ingin hidup di hutan walaupun aku suka pepohonan besar. Aku hanya ingin merasakan sensasi berada di hutan. 

Aku senang di mana pun berada dan senang atas apa yang aku miliki dari sekitar. Aku mencintai hidup, tentu saja.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun