Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengembangkan Suara Penulis: Pelajaran dari Penulis Terkenal

30 Juni 2024   08:11 Diperbarui: 30 Juni 2024   08:12 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis | sumber gambar pixabay

---

Ketika mendengar beberapa nada lagu, kita akan tahu bahwa lagu-lagu itu milik musisi A, musisi B, atau milik musisi C. Kita tahu ciri khas ciptaan mereka, suara mereka, tetapi dari mana datangnya gaya itu?

Hal ini juga sering terjadi kepada para penulis. Kita mulai bertanya-tanya, bagaimana para penulis hebat ini menemukan kekhasan gaya mereka atau yang sering disebut dengan "suara penulis"?  Apa yang membuat Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma, Dee Lestari, dan lainnya, misalnya Ernest Hemingway, Haruki Murakami, atau Edgar Allan Poe, menulis dengan gaya tulisan mereka dan ketika kita membaca tulisan mereka, lalu mengetahui bahwa merekalah yang menulis kata-katanya.

Seringkali ketika mulai berbicara tentang struktur cerita dan memikirkan cara membuat alur cerita, plot, konflik, kita mulai khawatir akan kehilangan gaya menulis dalam prosesnya. Kemudian kita mulai bertanya, bagaimana menemukan suara penulis atau gaya dalam tulisan kita?

Namun faktanya, satu hal yang perlu kita ketahui bahwa ketika bertanya tentang hal tersebut, itu artinya kita menanyakan pertanyaan yang salah. Mengapa? Karena kita berfokus pada hal yang salah. Pertanyaan yang lebih pantas adalah bagaimana penulis meningkatkan tulisannya, tetapi ini pun mungkin sulit untuk dipahami.

Jika mengambil salinan cerita dari salah satu penulis, katakanlah, "Ronggeng Dukuh Paruk" dari Ahmad Tohari---yang juga diadaptasi menjadi film, dan mulai melihat tulisannya, saya melihat ceritanya sangat unik. Ada banyak gambaran tentang adegan yang menarik. Ini adalah gaya penulisan yang sangat fantastik, sangat baik di sana-sini dan melompat-lompat lalu merangkai semuanya bersama-sama.

Pada saat yang sama, rasanya sangat menggelegar dan membingungkan jika hanya membaca satu tulisan saja, tetapi hal ini berhasil dan teruji oleh waktu---beberapa pembaca mungkin mengesankannya biasa saja, tidak terlalu emosional, hampir terasa seperti hanya melihat apa yang terjadi dan menggambarkan dengan jelas apa yang terjadi.

Namun, kemudian saya melompat ke cerita yang lain karya penulis lain, "Supernova" Dee Lestari, dia memiliki suara atau gaya yang berbeda pula. Keseluruhan buku terasa seperti saya sedang mendengarkan lagu dari seorang musisi, karena dia memang musisi, tetapi entah bagaimana tulisannya sangat cocok dan gaya penulisan unik yang belum pernah saya lihat di tulisan lain.

Saat menggali lebih dalam dan mulai melihat baris demi baris tulisan, lalu melihat cara kerjanya, kita akan menyadari sesuatu. Jika mengupas lapisan gaya atau suara penulis ini, kita akan menemukan bahwa mereka memiliki semua hal yang sama, yaitu struktur kerangka yang sama dan semuanya bekerja dengan cara yang sama, tetapi mereka adalah penulis yang sangat berbeda.

Jika mengambil cerita apa pun dari mereka dan mengupasnya kembali gagasan tentang gaya atau suara mereka dalam menulis, kita melihat semuanya memiliki perintah dalam bercerita, genre yang jelas, tokoh-tokoh ceritanya yang kongkret, dialog yang menarik, deskripsi yang sangat jelas, dan perangkat narasi yang bekerja di seluruh cerita. Penulis fokus menunjukkan apa yang terjadi daripada memberitahu pembaca apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh karakter ceritanya. Jadi, tidak masalah tulisan siapa yang kita baca. Jika tulisannya berhasil, semua elemen ini ada di sana dan bekerja sama dengan cara yang benar.

Lantas, apa rahasia besar dalam menemukan suara penulis dan menemukan suara menulis kita sebagai penulis? 

Inilah rahasianya, yaitu kita sudah memilikinya: Suara tulisan kita dan itulah kepribadian kita yang secara otomatis ada di dalam diri kita.

Seandainya pun jika kita mencoba berbicara dengan seorang penulis ternama tentang suara atau gayanya, mengapa mereka memilih kata-kata tersebut, dan bagaimana mereka menyusun kalimat demi kalimat, mereka pun tidak tahu. Mereka hanya menulis dalam pikiran mereka, hanya duduk dan membiarkan tulisannya keluar. Sebenarnya yang mereka lakukan adalah membiarkan kepribadian mereka muncul dalam suara penulisan mereka. Kalau ini benar, andaikan sesederhana duduk dan menulis, maka ini pun akan berhasil untuk kita.

Mari kita kembali ke analog lagu-lagu dari musisi kenamaan. Mereka memiliki bunyi khas yang amat jelas dalam caranya bermain musik. Namun bagaimana jika seseorang tidak mengetahui dasar-dasar bermain musik? 

Bagaimana jika dia tidak bisa memainkan accord? Atau dia tidak bisa merangkai nada-nada? Bunyi dan gayanya tidak akan pernah muncul melalui permainannya. Kita tidak akan pernah bisa merasakan suara musiknya dan gayanya.

Inilah sebabnya kita bersikeras bahwa jika kita sebagai penulis mempelajari keterampilan dasar baris demi baris dalam menulis cerita sebelum melakukan hal lain, kita menemukan suara dan gaya menulis kita. Jadi, yang harus kita fokuskan adalah jangan khawatir menemukan suara menulis yang sudah kita miliki. Satu yang perlu kita lakukan hanyalah membangun keterampilan dasar yang kita miliki, tidak peduli genre apa yang kita tulis.

Hal terbaik yang dapat kita lakukan sebagai penulis (atau penulis baru) yang mencoba menemukan suara tulisan sendiri adalah menulis dengan gaya alami---meski semua butuh waktu. Jangan coba-coba melakukan hal terburuk, yaitu memaksakan diri untuk menulis. dengan gaya yang bukan milik kita karena cara itu tidak membuat kita mengembangkan suara tulisan milik kita sendiri. Ketika kita meniru penulis lain dengan cara yang tidak alami, itu akan menyebabkan kegagalan.

Terakhir, yaitu dengan merangkul kebiasaan menulis dan bukan berkutat pada perfeksionisme. Kemampuan untuk duduk dan menulis dengan gaya konsisten yang terasa alami bagi kita dan yang kita sukai, dan bukan berfokus terhadap perfeksionisme, akan serta merta menampilkan suara khas kita dalam menulis. Jadi, semua itu hanya butuh menulis, menulis, dan menulis.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun