Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Yuni Terlanjur Cinta Diam-Diam

28 Juni 2024   20:02 Diperbarui: 5 Juli 2024   17:54 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dosen laki-laki. (Sumber: KOMPAS/SPY)

Bisa-bisanya di kampus Yuni ada cahaya berwujud manusia, bertubuh tinggi, berkulit putih, berambut rapi, berpakaian serasi, dan berkesan intelektual mengenakan kacamata bening. 

Beliau Pak Andi, dosen baru fakultas sastra, magister Linguistik Terapan lulusan universitas ternama. Perkara tampan, jangan ditanya. Sebelas dua belaslah dengan oppa ganteng Korea Lee Min-Ho, beda-beda tipis saja. Yang menarik, beliau muda, masih lajang pula. 

Setiap kali dosen baru ini melintas, Yuni merasa di kepalanya seperti ada backsound musik romantis yang sedang berputar.

Biasanya aktivitas kuliah begitu monoton, sekarang tak ubahnya sebuah kesibukan yang paling Yuni tunggu-tunggu, tentu saja bila ada jadwal mata kuliah Pak Andi. 

Semangatnya empat lima sekali. Ia bahkan rela datang lebih awal hanya untuk duduk di barisan depan, mencatat setiap kata-kata yang Pak Andi ucapkan, walaupun ia sering terlena menatap wajah dosennya itu.

Kendati Pak Andi masih kerap terjebak dalam teknis pengajaran yang kaku, karena mungkin jam terbangnya belum banyak dan terbiasa pula dengan rutinitas mahasiswa abad ke-21 yang lebih sering belajar daring, belum lagi menghadapi kekritisan mahasiswa semester enam, tapi Yuni tidak mempermasalahkannya. Baginya, Pak Andi tetaplah magnet yang memiliki cara unik memikat hati.

Baca juga: Ibu Berisik

Pernah suatu hari, ketika Pak Andi sedang memberi penjelasan panjang lebar tentang teori sastra kontemporer, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. 

Nada dering ponsel adalah lagu paling sentimental, "My Destiny" oleh Lyn (OST My Love from the Star). Yuni jelas terperangah pada momen berkesan tak terduga itu. Wow! Pak Andi ternyata sungguh-sungguh lelaki yang melankolis.

Baca juga: Musuh Sebenarnya

Sebenarnya itu manusiawi. Hanya, gara-gara Pak Andi mengabaikan panggilan ponsel dengan malu-malu dan tanpa sengaja tangannya malah menjatuhkan tumpukan buku di atas meja kerja, sontak isi kelas pun bergemuruh---macam manusia tak berakhlak saja. 

Pak Andi pun lantas canggung. Wajahnya sempat bersemu merah. Meski begitu, Pak Andi berusaha melanjutkan penjelasannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa---dan Yuni malah kian kagum atas sikap tenang itu.

Makin ke sini Yuni makin menjadi mahasiswa paling rajin yang selalu siap dengan banyak pertanyaan. Kadang-kadang pertanyaannya dibuat-buat hanya untuk bisa berbicara dengan dosen idolanya itu, padahal materi yang dijelaskan sudah sangat terang benderang. 

Buat Yuni, setiap kesempatan untuk berinteraksi dengan Pak Andi, meskipun hanya sebentar, itu adalah sesuatu yang amat berharga. Setiap jawaban yang diberikan bagaikan pelukan tak langsung dari sosok yang ia cintai diam-diam.

"Mas ... eh, Pak, kenapa gaya bahasa dalam puisi Chairil Anwar begitu menggugah dan intens?" tanya Yuni dengan wajah menggemaskan.

Alamak! Pak Andi tersenyum dan sukses membuat jantung Yuni berdegup kencang.

"Begini, gaya bahasa dalam puisi Chairil Anwar begitu menggugah karena ia mampu memadukan kekuatan kata-kata dengan emosi yang mendalam. Setiap bait puisinya seperti pukulan yang menghantam langsung ke dalam jiwa pembacanya, membangkitkan rasa-rasa yang terpendam dan memaksa kita untuk merenungkan makna kehidupan dan cinta."

Yuni makin terhanyut ke dalam figur elok nan menawan, sementara penjelasan Sang Dosen menguap entah ke mana. Semua kata-kata indah tentang puisi Chairil Anwar telah berubah menjadi nyanyian cinta yang mendayu-dayu di telinga Yuni. Ah, Pak Andi, pesonamu memang sungguh memabukkan.

Hari demi hari, perasaan Yuni kepada Pak Andi makin mendalam dan sulit dijelaskan. Ia sering mencari-cari alasan untuk bertanya tentang tugas atau makalah, semacam bagaimana menulis esai yang baik atau meminta pendapat untuk ide skripsi.

Meski sempat berpikir, jangan-jangan Pak Andi mulai curiga dengan modusnya, tetapi Yuni tidak peduli. Asal bisa dekat dan bisa mendengar suara pak dosen, ia sudah senang. 

Pak Andi penyemangatnya dalam mempelajari sastra. Siapa tahu, suatu hari nanti, Pak Andi menyadari keistimewaan dirinya bagi Yuni, pun sebaliknya. Jika Tuhan berkehendak, semua tidak ada yang tidak mungkin, bukan?

Ilustrasi dosen tampan mengajar di kampus| sumber gambar pixabay
Ilustrasi dosen tampan mengajar di kampus| sumber gambar pixabay

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Kabar mengejutkan datang. Dunia mendadak runtuh di depan mata Yuni.

"Apa? Pak Andi akan pergi?" tanya Yuni dengan suara bergetar saat mendengar berita itu dari teman kuliahnya.

"Ya, ini kesempatan baik, dong, untuk Pak Andi," jawab temannya dengan wajah datar, seolah-olah itu berita biasa-biasa saja.

Pak Andi ingin mengikuti proyek sastra di luar negeri yang berfokus pada penelitian interdisipliner tentang pengaruh budaya dalam karya sastra modern. 

Proyek ini melibatkan kolaborasi dengan penulis, kritikus sastra, dan akademisi dari berbagai negara untuk mengeksplorasi tema-tema seperti identitas, migrasi, dan globalisasi dalam sastra kontemporer.

Sebuah kabar bagus, tetapi Yuni tidak bisa menerima kenyataan. Pak Andi akan meninggalkan kampus dan tentu juga akan meninggalkannya. Bagaimana ia bisa semangat kuliah lagi?

Hari terakhir Pak Andi mengajar, hati Yuni teraduk-aduk, bercampur antara bahagia dan sedih. Ingin ia utarakan perasaannya, tetapi urung, sebab akan konyol sekali. Yuni akan tampak seperti mahasiswa bodoh yang mempermalukan dirinya sendiri. Tidak, ia tidak mau. Begitu-begitu, ia masih punya harga diri.

Ucapan selamat tinggal ia ucapkan kepada Pak Andi dengan senyum kecut yang dipaksakan. Sialnya, bukan ia seorang yang terpuruk hatinya, beberapa kaum hawa di kampus bahkan terlihat menitikkan air mata. 

Mereka berdiri di depan pintu kelas, menunggu giliran untuk mengucapkan salam perpisahan. Ada yang memberi hadiah kecil, ada yang sekadar meminta tanda tangan atau foto bersama. 

Melihat kenorakan mereka-mereka yang seperti itu, kesal pula perasaan Yuni karena harus berbagi kehilangan dengan banyak orang, padahal ia ingin menjadi satu-satunya yang merasakan kedekatan emosional dengan Pak Andi.

Setelah Pak Andi pergi, kelas kembali digantikan Pak Budi, dosen senior dengan kumis tebal dan suara serak-serak basah seperti penyiar radio. 

Tiap-tiap Pak Budi mengajar, gaya bicaranya menyerupai ceramah panjang yang penuh dengan nasihat hidup. Walaupun ilmu Pak Budi luas dan pengalamannya banyak, ada sesuatu yang hilang dari atmosfer kelas. Kelas lebih sunyi dan lebih sebagaimana menjalani kewajiban daripada kesempatan untuk memahami dunia sastra dalam rupa yang sesungguhnya. Sebab itulah Yuni merindukan Pak Andi.

Semua kembali seperti semula. Yuni kembali menjadi mahasiswa biasa yang harus berjuang menghadapi tugas-tugas berat tanpa kehadiran dosen tampan sebagai motivasinya. 

Acap kali ke kampus, ia terkenang tentang senyuman dan tentang bagaimana Pak Andi menjelaskan sastra yang membinar-binarkan mata. Kini segalanya telah jauh tak terjangkau.

Teman-teman yang dulu sering menertawakan betapa rajinnya ia ketika Pak Andi masih mengajar, sekarang melihatnya menjadi diri yang memiliki semangat tidak lagi menggebu-gebu.

"Kamu kenapa, sih, Yun? Kayak orang lagi putus cinta aja."

Ya, Yuni memang lagi putus cinta, bahkan cinta yang tak terungkap dan itu jauh lebih menyakitkan.

Belum usai bangkit dari perasaan yang teriris-iris, berita mengejutkan lain datang. Ketika Yuni sedang mengerjakan tugas di perpustakaan, temannya datang dengan wajah berapi-api.

"Eh, tahu, nggak, Yun? Pak Andi ternyata sudah tunangan, lho," kata temannya itu sambil menyodorkan ponsel.

"Hah! Serius?" Yuni nyaris tak percaya dengan apa yang ia dengar. Hatinya bagai tertusuk-tusuk ribuan jarum. Bagaimana mungkin ini terjadi begitu cepat?

"Nih, lihat!" Temannya menunjukkan foto Pak Andi bersama seorang perempuan cantik dengan cincin melingkar di jari manis.

Perempuan dalam foto itu begitu anggun dan sempurna, laksana dipilih langsung dari kisah negeri dongeng. Pak Andi terlihat bahagia, senyum di wajahnya lebih cerah daripada yang pernah Yuni lihat sebelumnya.

Gubrak! Dunia benar-benar berputar terbalik. Tubuh pun tercabik-cabik tanpa ampun. Semua harapan dan impian yang Yuni pendam dalam diam tentang Pak Andi, hancur berkeping-keping begitu saja. Yuni pun jatuh lunglai, persis lakon dalam drama Korea yang cintanya selalu berakhir tragis.

--- 

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun