Saya kerap marah atau dibuat marah oleh pasangan saya karena dalam suatu diskusi, pemikirannya terlalu logis atau terlalu masuk akal. Mengapa demikian?
Sekilas tampaknya aneh ketika saya menjadi emosional dalam perdebatan, apalagi ketika saya diam-diam mengakui kebenaran logika pasangan saya. Selama menjalin hubungan pun, saya mengetahui kalau dia memang kerap lebih berpikir secara logis atau rasional daripada saya.
Lantas, mengapa saya menganggap hal itu sebuah problematik dalam hubungan percintaan saya?
Begini, jika dilihat dari dekat dan jika dilihat dengan imajinasi yang cukup, kemarahan saya pun bisa sangat masuk akal.
Ketika berada dalam kesulitan, yang jelas pertama-tama saya cari dari pasangan saya adalah perasaan bahwa dia seharusnya memahami apa yang sedang saya alami.
Saya tidak mencari jawaban untuk suatu permasalahan yang mungkin berat dan tidak bisa diketahui secara jelas, tetapi lebih ke arah kenyamanan, kepastian, dan rasa kebersamaan kami---itu saja.
Maka dalam situasi demikian, penerapan sikapnya yang terlalu logis tidak pernah saya anggap sebagai tindakan kebaikan, melainkan sebagai bentuk ketidaksabaran dirinya yang seperti terselubung ketika menghadapi perilaku saya yang mungkin saja menurutnya juga memuakkan.
Suatu hari saya pernah mendatangi dirinya dengan keluhan berupa berat badan saya naik.
Baiklah, secara intelektual, ketakutan saya akan kegemukan memang jelas tidak beralasan dan saya mengetahui semua ini: porsi makan saya normal dan saya juga rajin berolah raga.
Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi kecemasan saya dalam praktiknya.
Jika kemudian pasangan saya dengan sabar mulai menjelaskan ilmu biologi dan kimiawi kepada saya bahwa saya tidak akan bisa gendut, justru yang terjadi adalah seketika saya kesal dan tidak berterima kasih dengan penjelasannya itu.Â