"Kita masih mengerjakan proyek bersama."
"Bukan itu maksudku."
Tiba-tiba kami berdua seperti tersengat kekakuan. Tidak banyak yang kami obrolkan sepanjang perjalanan pulang, selain membahas proyek yang harus kami kerjakan sebagai tim bersama. Entah mengapa, pembahasan itu menjadi obrolan yang tidak penting sama sekali.Â
Pandanganku terpaku pada bulan. Ia akan bercahaya di langit sepanjang malam seperti yang telah terjadi selama ribuan tahun sejak ia mengikrarkan kesetiaannya pada bumi. Beberapa waktu, aku baru sadar kalau ternyata laju mobil telah berhenti persis di depan rumahku. Kami diam sejenak, saling menatap sejenak, dan selanjutnya, aku meninggalkannya tanpa kata-kata.Â
Di kamar tidur, aku tidak bisa berhenti memikirkan hal yang seharusnya akan memberikan ancaman untukku. Aku tidak percaya memikirkan tentang ancaman itu bahwa aku benar-benar jatuh cinta kepada Glen. Oh, Tuhan!
"Bagaimana kabarmu, Sher? Kamu sepertinya lupa memasukan air toilet ke dalam tangki kopi. Rasanya tidak seaneh kemarin."Â
Glen kembali menyapaku di kantor seolah-olah kencan kami pada malam lusa kemarin tidak membuatnya berkesan.Â
"Jangan ganggu, Glen. Aku sedang sibuk menyiapkan laporan anggaran proyek kita."Â
Sengaja aku bersikap ketus, padahal aku berharap dia mengatakan sesuatu terkait perasaannya.
"Apakah kamu butuh sesuatu?"
"Tidak."Â