Satu-satunya orang di kantor yang sering berhubungan denganku adalah Glen. Dia rekan kerjaku di divisi yang sama. Orangnya asyik dan aku menyukainya. Aku memang tidak ingin terang-terangan terlihat menyukainya, tetapi sering kali ketika meeting group untuk proyek properti kami, aku mencuri-curi pandang ke arahnya sambil tersenyum tipis. Aku yakin dia tidak akan pernah tahu.Â
Pagi ini dia menghampiri meja kerjaku sambil membawa satu cangkir kopi yang masih beruap.Â
"Sudah minum kopi, Sher? Rasanya, kok, aneh, ya?"
Aku menjawabnya dengan gurauan sekenanya bahwa air seduhan kopi telah kutambahkan dengan air toilet.Â
"Ini rahasia," kataku.
"Iyakah?"Â
Glen mendelik dan aku tertawa renyah melihat reaksinya, lalu dia pun ikut tertawa. Mungkin karena pernyataanku memang terdengar konyol.Â
Padahal juga, tiba-tiba terbesit di kepalaku, suatu saat nanti, aku benar-benar ingin memasukkan air toilet ke dalam tangki seduhan kopi untuk karyawan kantor. Serius kukatakan begitu supaya setelah meminum kopinya, aku membayangkan Emma akan sakit perut seharian sehingga akan mengganggu aksinya bergenit ria di depan Pak Direktur; Jacob akan terganggu presentasinya yang selalu moncer dan merasa dialah yang paling pantas untuk dipromosikan naik jabatan; Davina akan terdiam dan tidak lagi sibuk memuji-muji atau menjilat-jilat atasan; dan yang lainnya, dan yang lainnya. Di kantor ini memang sudah terlalu banyak orang-orang yang kehilangan muka sehingga harus mencarinya dengan cara yang kurang beradab---kecuali Glen, menurutku.Â
Glen pandai, itu penilaianku karena kami sering berinteraksi mengerjakan proyek kerja bersama dan aku terkesan dengan ide-idenya. Kinerjanya baik, presentasinya bahkan lebih menarik dari Jacob. Aku pikir Glen malah lebih pantas daripada Jacob mendapatkan promosi kenaikan jabatan. Sayangnya, orangnya tidak terlalu bernafsu. Katanya, santai saja, ikuti saja alurnya. Begitulah dia.
Glen terdiam sesaat seperti memikirkan sesuatu, kemudian dia berbicara lagi.Â