"Ibu tidak mampu membeli laptop. Kita sudah banyak pengeluaran."
"Aku tidak pernah meminta apa pun, Bu. Kali ini saja."
"Sudah Ibu katakan, Darco! Ibu tidak mampu membelinya."
"Mengapa Ibu tidak peduli denganku? Tidak seperti Bapak. Mungkin kalau Bapak masih ada, dia pasti sudah membelikanku laptop."
"Kau tidak paham masalahnya."
"Kalau begitu, apa masalahnya?"
Ibu bergeming tidak menggubrisku. Dia menunduk, merapikan bungkus-bungkus kue di meja dapur, lalu memasukkannya ke dalam kardus. Wajah Ibu terlihat pasi dan peluh menetes di pelipisnya, tetapi aku tidak menghiraukannya. Bagiku, Ibu memang sudah tidak memikirkanku lagi.
Aku terlanjur kecewa terhadap sikap Ibu. Dia berubah, tidak sehangat ketika Bapak masih ada. Berhari-hari kemudian, aku lebih banyak berkurung di kamar, menghabiskan waktu untuk persiapan ujian sekolah, sambil menulis tentang apa yang ingin aku tuliskan pada lembaran-lembaran kertas. Kadang bila jenuh, sepulang sekolah aku akan pergi ke penyewaan komputer milik Bang Darius di dekat gedung sekolah, lalu berlama-lama di sana, mengetik draf tulisanku. Bang Darius pun tidak keberatan, mungkin karena aku memberinya kue sehingga dia tidak sempat menggerutu panjang---tentu saja aku juga membayar sewanya dengan uang jajanku walaupun Bang Darius hanya memintaku membayar seperempat harga.
Seperti siang itu, pulang sekolah aku kembali mampir ke tempat Bang Darius. Serupa biasanya, aku ingin meminjam komputer miliknya. Beberapa ide tulisan sudah ada di kepala, jadi aku ingin menuliskannya, lalu coba-coba mengirimkannya ke media walaupun sangat sulit menembusnya. Baru saja hendak memulai, sekonyong-konyong kantong celanaku bergetar. Ponselku berbunyi.
"Darco, pulanglah!" Suara Bibi Mar terdengar serak di ujung telepon.
"Ada apa, Bi?"