Aku ingat ketika laron-laron menyerbu rumah kami setelah hujan turun pada suatu malam. Serangga itu beterbangan memenuhi semua tempat berlampu dan sebagian kemudian jatuh, lalu berjalan-jalan mengotori lantai karena sepasang sayap telah terlepas dari tubuh mereka. Orang-orang mengatakan kalau kedatangan laron ke rumah-rumah menandakan keberuntungan atau kelimpahan rezeki bagi pemiliknya. Namun, Ayah justru percaya bahwa serangga itu datang membawa semacam kutukan, bahwa kemunculan mereka untuk memperingatkan sesuatu yang buruk.
Awalnya, aku mengira laron-laron itu berasal dari dalam kayu-kayu lapuk di kebun belakang yang dibentuk Ayah menjadi rumah-rumahan. Sepertinya, mereka sengaja berkumpul, memberi ide-ide aneh, dan memasang jebakan ke dalam diri Ayah---dan aku tidak tahu kapan mereka datang, kemudian pergi.
Sekitar waktu itulah pertama kali Ayah mengeluh dan mengumpat, meminta aku untuk berhenti memanggilnya "Ayah" karena suatu alasan. Ayah tampak seperti anjing yang menggonggong marah, membentak-bentak aku dan Ibu, lalu menggigit dirinya sendiri. Dia kemudian berkeliaran di halaman belakang rumah sampai larut malam dan terkadang menghilang selama berhari-hari.
Begitulah hari-hari berlalu. Ketika malam tiba, Ayah sering kali terjaga dan mengoceh sendiri, sedangkan aku dan Ibu memilih diam, seperti hidup di dasar lautan yang kelam dan dingin. Kadang-kadang, Ayah hanya duduk di dalam mobilnya dengan mesin menyala, meredam kebisingan di luar, dan terlindung oleh asap di sekelilingnya.
Ayah seperti berada di planet lain dan hidup dalam pikirannya sendiri. Saat aku dan dia bertatapan, sorot matanya selalu kosong seolah-olah aku tidak benar-benar ada di kehidupannya. Nenek berkata Ayah kerasukan jin dari dunia gaib, sementara menurut Kakek, Ayah perlu memperbaiki hubungannya dengan Tuhan. Belakangan, dokter mengatakan mungkin ada saraf yang salah di dalam otaknya. Aku pikir tidak ada yang tahu persis apa yang dialami Ayah.
Kerap kali aku melihat mata Ibu sembab, mungkin karena diam-diam menangis, tetapi Ibu tidak pernah jujur kepadaku mengenai alasan dia menangis. Ibu malah bercerita bahwa dulu, jauh sebelum Ayah seperti ini, Ayah adalah pria paling romantis yang dia kenal. Saat menjadi kekasih, mereka sering pergi ke pesta dansa dan selalu memenangkan kompetisi berdansa sehingga membuat gadis-gadis iri kepadanya.
"Menyenangkan sekali, Bu."
Ibu tersenyum meski sesaat. Mengingat kenangan itu membuatnya terlihat manis. Malangnya, semua berubah. Jiwa Ayah telah terguncang, bahkan telah mengambil alih semua kebahagiaan yang sempat ada. Aku rasa, tidak satu pun dari kami, aku dan Ibu, yang mengenalinya lagi.
Suatu kali, Ayah memukul kepala Ibu dengan teko kopi panas. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tetapi kulihat sebagian kulit kepala Ibu melepuh. Setelah itu, Ayah menyuruhku untuk menulis pikiran-pikiran buruk yang aku miliki tentang dia di selembar kertas sehingga aku bisa membakarnya. Kemudian, Ayah menghilang sementara waktu sehingga untuk sesaat kami mendapatkan sedikit kedamaian.
Ibu duduk diam terpaku seperti seorang pesakitan yang bersalah meski aku tahu semua ini bukan kesalahannya.
"Apakah Ibu ingin Ayah benar-benar pergi?"
"Tidak, Nak. Bagaimanapun, Ibu mengkhawatirkan Ayahmu."
"Tapi lihat, Ibu tersiksa."
"Ayahmu jauh lebih tersiksa lagi."
Ibu mempertahankan keadaan buruk ini dari rumah kami, seolah-olah yakin pada sesuatu, tetapi sepertinya itu tidak membuat keadaan menjadi lebih baik. Ketika aku diizinkan keluar malam dan bergaul dengan anak-anak lain yang juga diizinkan keluar, aku mulai melihat apa yang Ayah lihat pada orang lain. Penyakit atau kesedihan yang aneh ini ada di dalam diri setiap orang. Anak-anak ini mengatakan bahwa Ayah orang yang tidak waras dan aku juga akan menjadi salah satunya.
Aku lantas berpikir apakah yang anak-anak lain katakan itu benar? Apakah aku akan menjadi orang yang tidak waras juga? Aku anak laki-laki lima belas tahun dan mulai melihat perubahan ini. Di sekolah, aku menulis hal-hal favoritku untuk melihat apakah aku berbeda, tetapi aku mencoba memastikan bahwa aku masih seperti teman-temanku yang normal.
Suatu hari di kelas, saat pelajaran ilmu hayat, aku belajar tentang bagaimana makhluk hidup bisa tinggal di dalam tubuh manusia. Mereka terdiri dari sel-sel kecil berupa mikroba, bakteri, dan virus, menggeliat-geliat di dalam tubuh dan menjadikan tubuh layaknya ekosistem yang berjalan. Aku memejamkan mata dan berupaya mendengarkan makhluk-makhluk ini seolah-olah mereka mencoba memberitahukanku banyak hal. Aku juga bertanya-tanya apakah mereka juga berbicara dengan Ayah? Rasanya ingin sekali aku menanyakan hal itu kepada Ayah secara langsung.
Keinginanku tersebut dihentikan oleh suara bel tanda waktu belajar berakhir. Ketika pulang sekolah, sesuatu membuat aku tertegun. Seseorang berdiri di samping mobil untuk menjemputku pulang.
"Ayah?"
Ayah mengangguk dan tersenyum kepadaku. "Hari ini kau tidak usah menunggu bus jemputan, Nak."
Ayah membukakan pintu mobil dan menyuruhku masuk. Aku duduk persis di sisi kirinya.
"Bagaimana sekolahmu hari ini?"
"Baik, Ayah."
"Perutmu pasti lapar. Ayo kita makan di restoran!"
Aku melihat wajahnya dan memperhatikan kondisi tubuhnya. Dia baik-baik saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Pikiranku masih belum begitu percaya bahwa Ayah bisa kembali normal. Bagaimana bisa secepat itu? Ayah kemudian bersenandung kecil mengikuti alunan musik dari radio mobil, sebelum berbicara panjang kepadaku.Â
"Kau tahu, Anakku, Ayah hanya ingin kau tahu. Kebanyakan orang di dunia ini adalah palsu. Kitalah manusia yang sebenarnya. Lihatlah orang-orang berdasi di gedung-gedung bertingkat, pejabat-pejabat tinggi di televisi, kaum-kaum borjuis di media sosial. Mereka semua orang berdosa. Dunia ini memang dibuat untuk mereka dan bukan untuk kita karena kita berbeda. Tapi kita bahagia dan akan terus bersama, Â Ayah, Ibu, dan kau. Mereka mengira keluarga kita kerasukan. Mereka salah. Merekalah yang kerasukan. Mereka semua pembohong, ya, pembohong. Kau jangan percaya. Jadi, Ayah ingin kau mengerti tentang ini."
Sepertinya Ayah mengetahui sesuatu, maka dia ingin aku tahu dan mengerti. Namun, saat Ayah terus-menerus berbicara, mengeluarkan isi kepalanya, aku merasakan dunia menjauh sebab tidak memahami maksud dari perkataannya. Tubuhku mati rasa dan yang bisa kudengar hanyalah suara benturan keras. Aku sempat terhempas sedikit ke depan karena mobil kami tiba-tiba berhenti. Sepertinya kami menabrak sesuatu. Aku melihat Ayah dengan perasaan takut.
Ayah membuka pintu mobil untuk keluar dan aku juga ikut keluar. Apa yang kulihat, astaga! Kami ternyata menabrak seekor anjing liar di tengah jalan. Anjing itu berdarah dan sudah tidak bergerak lagi, ia sudah mati. Ayah menjambak-jambak rambutnya, berputar-putar, menjerit-jerit, dan menangis. Beberapa orang terdekat menghampiri kami dan menenangkan Ayah. Mereka mungkin memahami kalau hewan itu telah melintas dengan tiba-tiba dan sulit bagi Ayah untuk menghindar. Seorang bapak berbaik hati membawa jasad anjing itu untuk dikuburkan.
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Ayah lebih banyak termenung. Dia kulihat mulai suka berhubungan dengan Tuhan. Terhampar duduk di atas kain, bersujud dan bersimpuh.
Pada pertengahan bulan berikutnya, Ayah tiba-tiba mengatakan kepada kami kalau dia ingin pergi dalam waktu yang lama. Ibu mengangguk-angguk saja seakan-akan mengerti kalau Ayah tidak akan pernah benar-benar pergi lama seperti yang sudah-sudah. Hingga kemudian, aku dan Ibu dikejutkan oleh berita duka bahwa Ayah mengalami kecelakaan parah di jalan raya dan nyawanya terbang seketika. Ibu menjadi histeris, seperti menyesali tindakannya karena tidak menghalangi-halangi Ayah untuk pergi. Dadaku sesak merasakan kepiluan ini dan sepertinya hantaman hebat telah menimpaku dengan sangat menyakitkan. Selanjutnya, aku dan Ibu hidup penuh kehampaan tanpa Ayah.Â
Suatu hari yang lain, hujan turun amat deras. Malamnya laron-laron kembali menyerbu rumah kami. Aku menyangka setelah rumah-rumahan kayu lapuk buatan Ayah hancur, serangga kecil bersayap itu akan menghilang, tetapi ternyata tidak.
Ayah dan laron seperti menyatu dalam ingatanku meski keduanya tidak berhubungan. Mungkin Ayah telah membuat koneksi yang sama dengan laron-laron itu, berbicara kepada mereka tentang dunia dan semua bagian yang berbeda di dalam dirinya dari suatu tempat yang tidak diketahui. Namun, aku tidak akan membiarkan sekumpulan makhluk kecil ini menyapu dan menenggelamkan kehidupan kami lagi sampai tidak ada kebahagiaan yang tersisa antara aku dan Ibu. Sungguh, aku sangat membenci keberadaan mereka.
"Pergi kalian, pergi!" Ibu mengusir laron-laron dengan amarah yang meletup-letup, tetapi sesaat kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
Aku percaya Ayah bahwa laron-laron datang hanya akan membawa semacam kutukan.
---
Shyants Eleftheria, Life is A Journey
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H