Umumnya, orang-orang mengagumi "kekuatan" dan merendahkan "kelemahan". Kebanyakan dari kita mengasosiasikan kekuatan dengan sikap yang tegas, energik, dan kokoh. Kekuatan memungkinkan kita mencapai hal-hal yang dianggap mampu untuk melawan kesulitan, tidak terpengaruh oleh dunia sekitar, serta bersifat asertif, sehingga memberi tempat yang dianggap menarik dan patut dipuji. Dengan demikian, banyak orang lalu yang bercita-cita menjadi pilar kekuatan yang tak terpatahkan.
Kelemahan, di sisi lain, kita cenderung mengasosiasikannya dengan ketidakmampuan, kerapuhan, dan ketidakberdayaan. Kelemahan tidak membawa kita kemana-mana sehingga menganggapnya tidak menarik dan berusaha untuk menghindarinya, bahkan kita cenderung berupaya menyembunyikan kelemahan yang kita miliki karena tidak ingin diketahui oleh orang lain.
Sebenarnya, tidak semua kelemahan itu buruk. Ada banyak hal yang dianggap sebuah kelemahan, nyatanya memiliki denotasi (positif). Kelemahan tidak serta merta menyiratkan sesuatu yang payah, tetapi justru bisa menjadi sebuah senjata untuk mengalahkan kekuatan jika digunakan dengan cara yang benar.
Kekuatan tidak selalu menjadi jawaban dalam banyak situasi. Banyak hal-hal yang harus ditempuh ketika dalam posisi yang seharusnya membutuhkan salah satu sisi kelemahan, yaitu berupa kelembutan, seperti, kita lebih baik mengalah daripada berkelahi, menyesuaikan diri daripada menentang, dan tunduk daripada mendominasi.
Sebuah kisah berikut merupakan penyiratan bagaimana kelembutan dari kelemahan bisa mendominasi kekuatan.
Dahulu kala, ada seorang raja yang hanya memperkerjakan orang-orang kuat dan pemberani. Sang Raja percaya bahwa orang-orang itulah yang paling mampu melindunginya. Suatu hari seorang filsuf berkunjung. Filsuf tersebut menyampaikan sebuah argumennya kepada raja bahwa orang-orang yang dianggap lemah, meski takut, mereka masih berharap untuk menyakiti raja.
Maka katanya, "Tuan raja, hanya karena orang tidak ingin menyakiti, bukan berarti mereka akan menghormati atau mencintai Anda. Namun, ada strategi yang lebih baik yang membuat orang tidak ingin menyakiti Anda sama sekali, bahkan bisa membuat orang-orang tidak berani menyerang Anda sejak awal."
"Apakah strategi ini lebih baik dari sekadar kekuatan dan keberanian?"
Filsuf mengangguk. Raja menjadi sangat antusias ketika Sang Filsuf menyarankan kepadanya untuk lebih baik memerintah dengan kebajikan dan intregritas daripada mengandalkan kekuatan militernya. Jadi, dengan bersikap baik dan lembut kepada orang-orang, raja menjadi lebih dicintai dan dihormati daripada ditakuti, dan popularitasnya akan melampaui banyak orang bijak. Dalam posisi seperti itu, kemungkinan besar raja tidak perlu lagi menyewa orang kuat untuk mempertahahankannya dengan kekuatan karena pada akhirnya akan sangat sedikit orang-orang yang ingin menyerangnya. Raja pun tertarik dan mengangguk setuju dengan gagasan yang telah disampaikan Sang Filsuf tersebut.
Kita kemudian bisa membandingkannya dengan tipe pemimpin yang memerintah menggunakan intimidasi dan ketakutan. Meskipun mungkin berhasil melindungi dirinya sendiri dan posisinya sebagai seorang pemimpin, pemimpin tersebut akan terus menerus menarik banyak pertentangan. Orang-orang akan membencinya dan mencoba menyerangnya sehingga dia perlu meningkatkan kekuatannya untuk melindungi dirinya sendiri. Â Yang terjadi kemudian, pemimpin seperti itu akan terjebak ke dalam lingkaran setan.
Pemimpin itu dengan cepat terisiolasi dan jauh dari rakyatnya karena menentang dan menindas rakyat, alih-alih bersekutu dengan rakyat. Itu adalah posisi yang sangat melelahkan dan tidak berkelanjutan. Pemimpin semacam itu jarang bertahan lama; mereka akhirnya dihancurkan oleh tiraninya sendiri. Maka bukan tanpa alasan bahwa seorang pemimpin yang baik lebih mengutamakan kepentingan rakyat dan dicintai oleh rakyat. Sebaliknya, pemimpin terburuk adalah pemimpin yang dibenci rakyatnya.
Jadi, tampaknya kelemahan menang di sini. Kelemahan, dalam hal ini adalah kelembutan,  berfokus pada pencegahan dan dengan hati-hati menciptakan keadaan yang mengurangi kemungkinan terjadinya masalah, alih-alih berfokus pada memerangi masalah  yang seharusnya dapat dicegah. Sebuah anonym yang perlu kita resapi: Atasi masalah yang sulit selagi masih mudah, lakukanlah hal hal yang mudah sebelum menjadi terlalu sulit.
Sebuah cerita lain, yaitu tentang seorang penjaga hewan bernama Liang yang memiliki bakat menjinakkan hewan liar, seperti harimau dan serigala.
Liang mengambil sebuah pekerjaan di kebun binatang yang sebelumnya telah menyampaikan keahliannnya dan menjelaskan bahwa rahasia untuk menjinakkan hewan-hewan liar adalah dengan memahami sifat mereka. Seseorang seharusnya tidak memaksakan kehendak para hewan atau mencoba membangkitkan keganasan mereka. Kunci keberhasilan penjaga hewan terletak pada kehati-hatian dan adaptasi.
Liang menyampaikan idenya bahwa sebagai penjaga hewan, misalnya untuk harimau, dia tidak akan memberikan makanan yang masih hidup kepada hewan liar itu karena bisa membangkitkan keganasannya. Dia tidak akan memberi makan saat harimau lapar atau kenyang sebab jika terlalu senang atau bersemangat, harimau mungkin menjadi marah. Jadi, dia perlu menjaga hewan liar itu dalam keadaan seimbang, tidak terlalu senang dan tidak kecewa. Dengan demikian, harimau akan merasa nyaman berkeliaran di kebun binatang.
Liang tidak menggunakan kekerasan. Dia menyesuaikan pendekatannya dengan sifat alamiah hewan. Jika memaksa, harimau mungkin akan membalasnya dengan ganas atau pergi. Liang sangat berhati-hati memutuskan tindakannnya, nyatanya itu berhasil. Pendekatan persuasifnya adalah pendekatan cerdas. Itu tidak datang dari kemarahan, ketidaksabaran, atau ketakutan, tetapi kebijaksanaan.
Dalam dunia ini, zat yang kita anggap paling lembut adalah air. Segera kita menyentuhnya, air akan mudah bergerak. Bahkan, jika kita meniupnya, air akan membengkok bersama udara. Air juga mudah dicampur dengan zat lain dan oleh karena itu mudah tercemar. Air tidak pernah mempertahankan bentuknya dengan sendirinya karena ia selalu membutuhkan lingkungan untuk membentuknya. Disamping itu, air juga bisa beradaptasi pada keadaan lingkungan: Saat panas, ia menguap. Saat dingin, ia membeku.
Dalam banyak hal, air itu lemah hanya karena ia tidak ingin mencapai apapun, padahal bukan tidak melakukan apa apa, melainkan air tidak tinggal di tempat yang lebih tinggi karena secara alami mencari yang terendah. Namun, tidak ada yang lebih baik dari air untuk mengatasi yang keras dan kaku karena tidak ada yang menandinginya. Semua orang tahu bahwa yang lembut dan tunduk mengalahkan yang kaku dan keras, tetapi hanya sedikit yang dapat memraktikkan pengetahuan ini.
Bayangkan sebuah ruangan, di dalamnya sekelompok orang mendiskusiskan topik tertentu. Beberapa dari mereka memiliki pengetahuan tentang subyek masalah tersebut sehingga bisa mendominasi pembicaraan dan menggunakannya untuk melawan omong kosong yang diucapkan oleh berapa orang lainnya yang memiliki sedikit pengetahuan. Namun, ada satu orang pria yang sebenarnya memiliki pengetahuan paling banyak, tetapi hanya duduk tenang sambil mendengarkan perdebatan dalam diskusi itu dan sesekali mengajukan pertanyaan. Maka, siapa yang terpintar di ruangan itu?
Dialah pria yang paling banyak ilmunya, yang bukan hanya kerena dia yang paling banyak ilmunya, melainkan karena dia telah memposisikan dirinya di posisi paling bawah. Dia ingin mendapatkan ilmu dan wawasan baru yang lebih banyak dari apa yang sudah dia miliki. Alih-alih menggunakan kekuatan untuk mendominasi percakapan dan memaksakan ide pengetahuannya kepada orang lain, pria itu lebih memilih menggunakan pendekatan kerendahan hati dan penerimaan yang 'lembut' dengan mendengarkan secara seksama dan mengajukan pertanyaan. Dia bersedia memperbarui keahliannya, jika memungkinkan, melalui pendekatannya yang lembut, dia mengatasi yang "kaku dan keras". Seperti air, dengan mencari posisi terendah sebagai tempat mengalirnya, ia tinggal di tempat yang paling tidak popoler, tetapi paling subur.
Â
Teguh dalam prinsip seseorang sering kita anggap sebagai karakteristik positif. Ketegasan membantu kita bertahan. Tentu saja dengan bersikap tegas, kita bisa melindungi diri dari penipuan, menciptakan keteraturan dari kekacauan, dan menciptakan kejelasan dari ambiguitas. Namun, jika kita terlalu tegas, kita menjadi kaku, tidak fleksibel, dan karenanya tidak mampu beradaptasi dengan keadaaan yang mungkin meminta kita untuk memperbarui ide-de fundamental kita.
Perubahan adalah hidup dan hidup adalah perubahan. Saat fleksibel, kita dengan mudah mengikuti realitas yang selalu berubah dan karenanya lebih selaras dengan kehidupan. Orang-orang yang bertahan hidup dengan kekuatan tidak berarti bertahan dari yang terkuat, tetapi mereka yang paling berhasil untuk "cocok" dan "beradaptasi" dengan keadaan mereka.
Jadi, meskipun bertahan hidup membutuhkan kekuatan, kita juga membutuhkan kelembutan untuk beradapatasi. Jika tidak, kita akan binasa.
The rigid and stiff will be broken, the soft and yielding will overcome  (Yang kaku dan keras akan dipatahkan, yang lembut dan lunak akan menang). Lao Tzu.
---
-Shyants Eleftheria, Life is A Journey-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H