"Aku menginginkan tubuh baru."
"Alena, berhenti berpikir seperti itu."
Dari percakapan itulah, aku benar-benar mengerti. Aku tidak memikirkan tentang kenaifan cara Alena berpikir, tetapi yang menarik perhatianku, seorang perempuan yang kunilai sempurna dengan tubuhnya, justru mengalami tekanan atas ketidakpercayaan dirinya yang menimbulkan ketidakberdayaan.Â
Aku marah kepada Alena, hingga akhirnya dia berbicara tentang kekalahannya menarik perhatian seorang pria yang dia sukai. Alena begitu terisak-isak dan berkata bahwa dia menyadari tidak benar-benar ingin mengubah wajahnya, tetapi hanya menginginkan perasaan cinta untuk dirinya ketika bercermin setelah bertahun-tahun tidak memiliki kekasih. Aku mengerti kegundahannya, tetapi menyayangkan sikapnya. Maka, kukatakan kepada Alena, jika dia lebih mementingkan nilai atau harga diri, aku berani bertaruh, suatu saat, entah dalam waktu cepat atau lambat, dia bisa memenangkan laki-laki itu.
Begitulah, aku berbicara tentang persaingan mengejar sesuatu di luar untuk merasa damai dengan diri sendiri. Siklus seperti itu tidak pernah berakhir. Mengenai nilai seseorang, aku jadi teringat kasusku sebagai orang yang kompetitif, saat menjadi mahasiswa.
Dulu, aku menghabiskan waktu empat tahun setengah untuk mencoba menjadi sarjana terbaik yang aku bisa, lulus, hanya untuk menjadi seseorang dengan gelar bergengsi. Setelah akhirnya mencapai tujuan yang kupikir akan mengubah segalanya, aku menyadari bahwa sekarang aku tidak harus mengejar apa pun lagi. Satu-satunya yang ingin aku jalani, menghabiskan sisa hidupku dengan menaiki tangga hingga akhir. Itu adalah pilihanku ketika akan berkata, "Aku puas dengan hidupku sekarang."
Prayaga mempertanyakan konsep kepuasan hidupku itu.
"Itu bukan pernyataan menyerah, kan?"
"Tentu saja bukan. Aku hanya ingin berdamai dengan diriku sendiri saja."
"Aku senang kamu bisa lebih tenang sekarang, Suzan."
Aku tersenyum dan kukatakan kepadanya bahwa dialah yang membuat aku lebih baik.