Kebahagiaan bisa kita ibaratkan seperti kupu-kupu, makin mencoba menangkapnya, makin ia terbang menjauh. Namun, ketika kita berhenti mengejarnya, kemungkinan ia muncul di bahu kita saat kita tidak mengharapkannnya.
Dalam hidup ini, tentu saja tidak ada orang yang suka dengan hal-hal yang menyedihkan. Saat mengalaminya, kita cenderung menghilangkannnya atau melawannya. Ketidakpuasan kita terhadap kehidupan berupa kesedihan, kecemasan, dan kekecewaan, merupakan keadaan mental negatif yang seringkali kita gagal menyingkirkannya. Makin kita larut memikirkan keadaan-keadaan tersebut, ketidakbahagiaan yang kita rasakan malah tampak makin besar. Itulah, mengapa mencoba menekan kecemasan ringan dapat berubah menjadi serangan panik dan mengapa memaksakan diri sendiri untuk tidak bersedih sering kali bekerja berlawanan dengan perasaan.
Hal yang sama berlaku untuk berpikir negatif. Terkadang, datang dan perginya pikiran berada di luar kendali kita. Seperti halnya ketidakbahagiaan, makin berusaha menyingkirkan suatu pikiran, makin kuat pikiran itu karena dengan memikirkannnya, kita mengundang pemikiran itu tetap ada.
Sebaliknya, keadaan mental kebahagiaan juga tampak bersifat paradoks, yaitu makin kita ingin bahagia, makin kecil kemungkinan kita berhasil. Namun, ketika berhenti menginginkan kebahagiaan dan berhenti mengejarnya secara langsung, kemungkinan besar kita akan mengalaminya.
Nah, bagaimana paradoks kebahagiaan itu bekerja? Mengapa kebahagiaan begitu sulit dipahami? Adakah penjelasan ilmiah mengapa keinginan dan pencarian kebahagiaan mengurangi peluang kita untuk menemukannnya?
Kebahagiaan itu sulit dipahami, bahkan kita tidak dapat memperolehnya secara langsung. Jika bisa, kita atau sebagian besar orang---jika tidak semua orang akan selalu bahagia---pasti akan mengetahui cara cepat mendapatkannya.
Pada abad ke-19, novelis Amerika Serikat, Nathaniel Hawthorne, menulis di salah satu buku catatan pribadinya, "Kebahagiaan di dunia ini seperti datang secara kebetulan. Jika menjadikannya objek pengejaran, kita seolah-olah mengejar angsa liar yang sangat sulit didapatkan." Itu artinya, apa pun yang kita kejar, tidak ada jaminan bahwa kebahagiaan akan dihasilkan darinya.
Kita mungkin mengharapkan kebahagiaan sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu. Namun dalam banyak kasus, ekspektasi ini kadang-kandang tidak sejalan dengan kenyataan. Misalnya, kita mungkin memiliki ekspektasi dan keinginan bahwa berkumpul dengan teman-teman akan menimbulkan kesenangan. Namun, Â ada kemungkinan perkumpulan ini tidak akan memberi kita kebahagiaan yang dicari karena mungkin saja kita mengalami kejadian yang malah berujung pada kekecewaan.
Kekecewaan yang kita rasakan merupakan kegagalan untuk memenuhi ekspektasi kita, bahkan dapat memperburuk keadaan---dalam beberapa kasus, hal itu memang terjadi, sedangkan dalam kasus lain, hal itu tidak terjadi. Jika terjadi, kemungkinannya adalah tentu saja kita terus mengejar kebahagiaan dengan cara lain untuk menemukannnya.
Tampaknya, kita bisa sedikit lebih banyak menciptakan kondisi yang membuat kebahagiaan lebih sering muncul meskipun pada akhirnya, itu tetap sulit dipahami. Hal itulah yang disebut "Paradoks Hedonisme". Ide "Paradoks Hedonisme" ini pertama kali diciptakan oleh Henry Sidgwick, seorang ekonom dan filsuf Utilitarian Inggris, yang menjelaskan bahwa pengejaran kesenangan secara sadar akan mengganggu pengalaman aktualnya.Â
Sayangnya, ide tersebut pada akhirnya membuat orang-orang cenderung berpikir bahwa kebahagiaan hanya akan didapat dengan melakukan gaya hidup hedonisme dan itu akan membuat mereka menutup mata terhadap tujuan hidup yang lain.