Seorang filsuf sekaligus psikiater Jerman, Viktor E. Frankl, dalam bukunya "Man's Search for Meaning", dia menyatakan bahwa kita tidak mungkin mengejar kebahagiaan secara langsung dan itu harus "terjadi". Ini berarti bahwa dengan apa apun yang kita lakukan, kebahagiaan seharusnya bukan untuk menjadi tujuan utama, melainkan sebuah produk samping dari tindakan kita.
Frankl berpendapat bahwa produk samping tersebut sebenarnya berasal dari dedikasi pribadi seseorang untuk tujuan yang lebih besar dari keinginannya sendiri atau produk samping sebagai hasil penyerahan seseorang kepada orang lain selain dirinya sendiri.
Frankl sendiri membuang tujuan kebahagiaannya ketika dia di penjara selama Perang Dunia II dan menggantinya dengan tujuan lain, yaitu menggunakan keahliannya sebagai dokter untuk membantu para napi di dalam penjara tetap bertahan. Dia kemudian menemukan penderitaan terkadang berhenti menjadi penderitaan ketika makna hidup justru ditemukan dan bahkan menjadi kebahagiaan meski dalam kondisi yang sangat keras.
Menurut Frankl, kebahagiaan memang harus terjadi seperti halnya kesuksesan. Meski demikian, kebahagiaan tidak dapat dicapai secara langsung. Oleh karenanya, itu tidak boleh menjadi fokus tindakan kita. Untuk mendapatkannya, kita harus berhenti memedulikannya.
Selain perenungan filosofis tentang sulitnya mencapai kebahagiaan, penelitian akademis juga menunujukkan bahwa sebuah studi tahun 2021 yang berjudul "The paradox of Pursuing Happiness" atau "Paradox Mengejar Kebahagiaan" Â Felicia K. Zerwas dan Brett Q. Ford, menguraikan tentang bagaimana makin banyak orang menginginkan kebahagiaan, makin mereka tidak bahagia.
Kebanyakaan orang yang berjuang untuk satu tujuan, biasanya makin besar kemungkinan untuk mencapainya. Namun, logika ini tidak selalu berlaku untuk memperjuangkan kebahagiaan. Banyak bukti menunjukkan bahwa terlalu fokus pada kebahagiaan malah dapat memprediksi konsekuensi negatif, baik dalam jangka pendek, misalnya kesenangan sementara, maupun jangka panjang, misalnya keadaan yang lebih buruk.
Agar "paradoks mengejar kebahaagiaan" dapat dipahami, Felicia dan Brett, Â menggunakan model pengejaran tujuan (berdasarkan model pengejaran tujuan yang ada) yang mereka terapkan pada kebahagiaan. Model ini dengan menetapkan "sasaran kebahagiaan, yang berasal dari keinginan kita untuk bahagia.Â
Untuk mencapai tujuan itu, seseorang terlibat dalam fase "pengaturan emosi" yang memerlukan strategi untuk meningkatkan kebahagiaan. Misalnya, untuk mencapai keadaan bahagia yang diinginkan, seseorang akan melakukan sebuah perjalanan, berbelanja, atau mengunjungi ahli terapis. Ada kemungkinann bahwa emosi seseorang saat itu berjalan dengan keadaan yang diinginkannya, yang kemudian dapat dianggapnya berhasil.
Namun, jika keadaan seseorang saat itu tidak setara dengan keadaan yang diinginkannya, hal tersebut dapat menyebabkan dua hal: Hal pertama, dia terlibat kembali dalam fase "regulasi kebahagiaan" dan menerapkan strategi kembali untuk meningkatkan kebahagiaannya; Hal kedua yang mungkin terjadi adalah apa yang disebut meta-emosi, yaitu merasa kecewa dengan keadaan saat itu.
Meta-emosi ini secara langsung memengaruhi keadaan seseorang. Misalnya, seseorang melakukan perjalanan dengan harapan akan menghasilkan kebahagiaan. Namun, selama perjalanan ternyata tujuan tersebut tidak tercapai. Hasil pengamatan pada perjalanan tersebut dengan sendirinya berdampak negatif pada suasana hati seseorang. Sehubungan dengan mencari kebahagiaan, ini berarti bahwa tindakan merenungkan tujuan kebahagiaan seseorang berdampak negatif pada kondisi saat peristiwa selesai terjadi.
Model pengejaran tujuan menunjukkan kepada kita bahwa kebahagiaan sebagai tujuan bisa salah dalam beberapa cara. Pertama, jika tujuannya terlalu tinggi, seseorang tidak mungkin mencapainya.Â