Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jhon Gray: Feline Philosophy, Cats and The Meaning of Life; Apa yang Kucing Ajarkan kepada Manusia tentang Kebahagiaan?

28 Maret 2022   11:01 Diperbarui: 28 Maret 2022   14:51 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang pasti setuju bahwa kucing dan manusia sangat berbeda. Anggapan bahwa manusia lebih berkembang, sebagai spesies yang lebih tinggi, bukan hanya karena kecerdasan superior, tetapi juga karena manusia dilengkapi dengan karunia moralitas dan etika.

Berbeda halnya dengan kucing---kita berbicara khusus mahluk ini saja meski berkaitan dengan sifat binatang secara luas---tidak pernah peduli dengan moralitas, yang berhubungan dengan baik dan jahat, benar dan salah, dan cara meningkatkan moral dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Menurut John Gray, filsuf sekaligus penulis buku "Feline Philosophy, Cats and the meaning of life", kucing ternyata memiliki etika dan juga mampu mencintai dan menyayangi. Bahkan jika kucing memang memiliki sikap acuh tak acuh dan ceroboh, ia bisa sangat peduli tentang beberapa hal, terutama jika itu cocok untuknya.

Sebagaimana hewan yang tidak memiliki agama, filosofi moral, atau sistem eksternal lainnya yang memberikan etika atau aturan untuk hidup---semua hewan tidak membutuhkan hal-hal seperti itu untuk menjalani kehidupan yang lengkap---etika kucing justru berasal dari dalam karena ia sudah tahu cara hidup. Lantas, tentang ide John Gray tersebut, apa yang bisa manusia pelajari dari kucing?

Penjelasan Gray tentang filosofi kucing dimulai dengan cerita tentang seorang filsuf yang meyakinkannya perihal kucingnya untuk menjadi vegetarian. Gray mengira filsuf itu bercanda, tetapi bukan itu masalahnya. Filsuf itu dengan serius percaya bahwa kucingnya telah memilih makanan tanpa daging. Fakta kemudian yang terjadi adalah kucing itu vegetarian di rumah, tetapi telah melengkapi makanannya dengan menangkap hewan seperti tikus dan burung di luar rumah.

Kucing tidak tertarik dengan gagasan moral pemiliknya untuk menghilangkan daging dari menu hariannya demi hewan lain sebab pada dasarnya kucing adalah karnivora. Diet vegetarian mungkin dapat diterima untuk omnivora seperti manusia, tetapi tidak cocok untuk kucing. Namun demikian, alih-alih tersinggung oleh upaya pemiliknya untuk mendorong pola makan vegetarian, kucing hanya menerima situasinya, menempuh jalannya sendiri, dan tetap setia pada sifat bawaannya: karnivora atau pemakan daging.

Niat filsuf untuk memaksakan moralitas manusia ke kucingnya cukup dipertanyakan sebab kucing jelas tidak membutuhkan moral untuk hidup. Kucing diberi insting oleh Sang Pencipta tentang apa yang ia butuhkan dan bagaimana menjalani hidupnya. Hewan tersebut tidak seperti manusia dan untuk bahagia, santai, dan puas secara bawaan, kucing tidak membutuhkan nasihat moral dari manusia yang terus menerus gelisah dan tidak bahagia. Jadi, Gray menyimpulkan bahwa sang filsuf bisa belajar sesuatu dari kucing dan bukan sebaliknya.

Kucing baik-baik saja menjadi kucing

Manusia pada umumnya tampak tidak puas dengan sifatnya, dan mereka terus-menerus mencari sesuatu yang bukan bagian mereka, bahkan terkadang ke tingkat yang tidak masuk akal. Mereka juga menderita kecemasan eksistensial yang terus-menerus. Oleh karena itu, manusia berpegang teguh pada agama dan filsafat, berharap untuk menjawab banyak pertanyaan mereka dan mendapatkan kembali makna kehidupan. Manusia membutuhkan moral (atau aturan) untuk menentukan apa yang baik dan jahat, bagaimana meningkatkan kebaikan dan bagaimana tidak menjadi orang jahat.

Sikap Gray tentang moralitas, yaitu bahwa---sebagian besar, jika tidak semua--aturan ini pada dasarnya adalah produk imajinasi orang. Jadi, tidak ada moral manusia yang secara inheren benar, karena itu adalah nilai: apa yang bermoral bagi satu orang bisa jadi tidak bermoral bagi orang lain. Sebagai contoh, seperti gaya pakaian, moral masuk dan keluar dari mode. Jadi, apa yang bermoral hari ini mungkin tidak bermoral satu dekade dari sekarang, tetapi manusia yang beragama tentu akan paham tentang hal tersebut.

Gray menulis bahwa orang yang mengklaim dirinya bermoral hanya mengekspresikan emosi dan perasaan mereka tentang berbagai hal dan menggunakan fakta, dari waktu ke waktu, untuk mendukung penilaian dari nilai mereka. Namun demikian, orang-orang bersedia memaksakan moralitas mereka yang seringkali tidak rasional kepada orang lain, mempertahankannya dengan kekerasan, menuntut mereka yang tidak patuh, dan membungkam mereka yang tidak setuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun