Membantu orang lain adalah hal yang wajar kita lakukan sebagai mahluk sosial. Hanya, apakah yang kita lakukan itu murni karena memang ingin membantu atau hanya mengikuti kemauan orang lain?Â
Sebelum mengetahuinya lebih lanjut, mungkin ada baiknya kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, yaitu apakah kita pernah membantu orang lain atas kesadaran sendiri dan bagaimanakah perasaan kita?Â
Contohnya begini, kita memberi uang kepada pengamen atau membantu seorang nenek menyeberang jalan. Jika perasaan kita setelah itu adalah lega dan bahagia karena telah melakukan perbuatan baik itu meskipun kita tidak mendapatkan apa pun, bahkan balasan langsung dari mereka, itu disebut "Altruisme".
Menurut, Auguste Comte, seorang philosoper Yunani, altruisme merupakan istilah filsafat atau filosofi etika yang menjelaskan bahwa segala tindakan yang manusia lakukan adalah murni untuk kebaikan orang lain tanpa mengharapkan imbalan---ikhlas.Â
Pada dasarnya, setiap orang memiliki sifat altruis atau senang membantu dan hal itu terbentuk berdasarkan teori seleksi bertingkat (multilevel selection theory),  yang terbagi menjadi tiga, yaitu: Seleksi antar kelompok di dalam suatu populasi, seleksi antar individu di dalam suatu kelompok, dan seleksi antar gen di dalam suatu individu.Â
Singkatnya, teori ini mengatakan bahwa sejak lahir manusia telah hidup berkelompok dan berkompetisi. Kompetisi ini, baik antar individu di dalam kelompok sendiri maupun antar kelompok mereka dengan kelompok lain, disebut dengan "seleksi alam" (survival of the fittes).
Seleksi alam itu akan menyaring orang-orang hebat yang memiliki kemungkinan tingkat bertahan hidup lebih tinggi dari yang lain dan akan terus mewariskannya hingga ke masa sekarang.Â
Dahulu, untuk bertahan hidup, nenek moyang kita yang bisa---dan harus bisa---bekerja sama antar individu lain di kelompoknya atau antar kelompok lain yang kooperatif, kemungkinan terbesar tentu akan memiliki daya bertahan hidup yang lebih tinggi.Â
Berdasarkan mekanisme tersebut, maka orang-orang di zaman modern ini, yang memiliki sifat altruis, akan memiliki semangat hidup. Rasa senang dan ikhlas yang kita rasakan ketika membantu orang itu secara evolusi bertujuan supaya kita dan orang lain mampu bertahan hidup secara bersamaan.
Berbeda dengan altruisme, people pleaser adalah sebaliknya. Istilah people pleaser ini mengacu kepada orang-orang yang tidak bisa menolak permintaan orang lain karena faktor tidak enakan. People pleaser bisa diartikan melakukan kebaikan tidak berdasarkan pada keinginan untuk membantu, tetapi disebabkan obsesi atau reputasi kita sendiri.Â
Bagi people pleaser, reputasi itu penting. Kita takut tidak disukai atau tidak diterima oleh lingkungan sekitar, maka kita berharap, dengan mengatakan "ya" dan menuruti keinginan semua orang, itu akan membuat kita untuk diterima dan disukai---people pleaser cenderung berharap untuk diterima atau divalidasi sebagai orang baik. Misalnya, seorang teman membutuhkan pertolongan kita saat kita sedang melakukan suatu pekerjaan.Â
Nah, karena tidak mau menyinggung dirinya atau merasa tidak enakan, kita akhirnya membantunya meskipun harus mengorbankan waktu untuk pekerjaan kita sendiri. Akibatnya, pekerjaan menjadi terbengkalai dan kita "keteteran" menyelesaikan pekerjaan itu sehingga hasilnya tidak maksimal.
Contoh lain, suatu hari seorang teman kita berulang tahun dan kita ingin memberikannya hadiah baju. Namun, ternyata dia sangat berharap kita memberinya jam tangan mahal yang sebenarnya kita sendiri belum tentu mampu untuk menghadiahkannya.Â
Karena khawatir dia membenci kita atau tidak menyukai kita lagi---dan kita pun merasa malu karena dianggap tidak bisa memberikan hadiah yang dia suka---maka kita akhirnya memaksakan diri supaya bisa memenuhi keinginannya itu.Â
Cara yang yang kita lakukan mungkin meminjam uang dari teman lainnya atau siapa saja dan setelah hadiah itu kita berikan, mungkin kita akan pengakuan dan pujian yang luar biasa darinya, padahal perasaan kita tidak sepenuhnya bahagia sebab masalah bertambah, yaitu utang bertumpuk, dan kita kesal karena harus memendamnya sendiri.
Jika kasusnya seperti itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tindakan itu merupakan tanda bahwa perbuatan baik kita disebabkan ketakutan atas respons atau ekspetasi buruk orang lain terhadap kita.Â
Dengan kata lain, kebahagiaan kita itu adalah semu dan kontradiktif. Maksudnya, di satu sisi kita mendapatkan kebahagiaan karena pengakuan dari orang lain, tetapi di sisi lain kita kesal sebab tindakan yang kita lakukan itu tidak sesuai dengan keinginan hati yang sebenarnya.Â
Maka, people pleaser bisa disebut juga sebagai orang-orang yang berperilaku melawan prinsip naluriah. Â
Ada berbagai faktor mengapa kita menjadi people pleaser. Salah satunya, kemungkinan masa kecil kita berada dalam pengekangan orang tua.Â
Sebagai anak, kita merasa tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti keinginan orang tua demi keberlangsungan hidup dan sosial kita. Sayangnya, kebiasaan itu terbawa hingga kita dewasa.
Kemungkinan lainnya, kita menjadi people pleaser disebabkan adanya pengalaman atau keterikatan hidup dengan orang yang rapuh. Contoh, kita mempunyai pengalaman tinggal bersama orang tua atau keluarga yang mengalami depresi.Â
Karena takut memperburuk keadaan, ketika bersosialisasi dengan orang-orang di luar rumah, kita lantas menginterprestasikan semua orang adalah sama keadaannya dengan keluarga kita yang sedang mengalami depresi.
Jadinya, apa pun semua keinginan mereka akan kita ikuti meski perasaan kita sendiri menolak dan hanya bisa memendamnya. Lalu, bagaimana kita tahu batasannya apakah yang kita lakukan itu berindikasi people pleaser atau tidak?
Pertama, kita bisa memulai dengan meningkatkan kesadaran bahwa kerabat, pasangan, atau pun teman, mereka adalah orang-orang yang berbeda dengan orang-orang yang biasa hidup dengan kita sebelumnya.Â
Tindakan membantu itu tidak salah, tetapi kita juga harus menyesuaikan setiap kondisinya.Â
Kondisi A tidak akan sama dengan kondisi B karena setiap orang berbeda dan hidup dalam kondisi yang berbeda-beda. Selain itu, kita juga harus menyadari bahwa tidak semua bantuan yang kita berikan untuk orang lain akan berdampak baik.Â
Bisa jadi, bantuan yang kita berikan itu justru mencelakakan mereka, bahkan kepada diri kita sendiri. Misalnya, kita bertahan pada hubungan toxic.Â
Kita merasa bahwa pasangan kita tidak bisa hidup dan bahagia tanpa diri kita. Maka, kita pun harus selalu ada untuk membantunya berubah, padahal bisa jadi itu semua adalah asumsi dan ketakutan pikiran kita sendiri saja. Kenyataannya, setiap orang bisa berubah karena adanya kesadaran masing-masing dan bukan karena paksaan pihak lain.Â
Jika kita berjuang untuk mengubah kelakuannya yang buruk, tetapi pasangan kita itu tidak ada usaha sendiri, hasilnya pasti akan nihil dan memberikan dampak tidak sehat terhadap hubungan kita itu.Â
Jadi, untuk situasi seperti ini, melepaskan hubungan toxic mungkin adalah jalan terbaik.
Kunci dari masalah ini sebenarnya adalah komunikasi yang baik. Mari kita ubah cara komunikasi kita terlebih dahulu. Ketika masih anak-anak, mungkin kita belum memiliki keterampilan menyampaikan isi hati tanpa harus menyinggung orang lain.Â
Makin dewasa, kita bisa belajar menyampaikan pesan dengan cara asertif. Jadi, mulailah mengatakan "tidak" dengan menjelaskan tujuan baik kita dan sampaikanlah pendapat kita tanpa harus merendahkan lawan bicara.Â
Kita bisa meninggalkan seseorang dengan cara berterima kasih atas perhatian yang telah dia berikan untuk kita selama ini. Intinya, komunikasi yang kita lakukan itu bisa memberikan pemahaman yang baik. Jika susah, kita lakukan saja perlahan-lahan karena pada dasarnya semua butuh proses.
Untuk bisa berkomunikasi dengan baik, kita bisa mengawalinya dengan meningkatkan rasa percaya diri dahulu.Â
Kepercayaan diri itu penting sebab biasanya people pleaser itu cenderung takut mengeluarkan pendapat dan pikiran karena kehilangan rasa percaya diri.Â
Ketika telah memiliki kepercayaan diri, kita tentu tidak akan takut mengungkapkan isi hati kita. Lantas, apakah kita salah karena menjadi orang yang terlalu baik?Â
Sekali lagi, melakukan kebaikan itu tidak salah. Hanya, kita harus mengingat satu prinsip bahwa menjadi orang baik itu penting asalkan kita dapat mengetahui batasannya, altruisme atau people pleaser. Kita harus berdiri teguh terhadap prinsip hidup kita sendiri ketika membantu.*
-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan-
*Sumber inspirasi: satu persen.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H