Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Kamu Termasuk Higly Sensitive Person?

11 Agustus 2021   22:44 Diperbarui: 14 Agustus 2021   14:14 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Highly Sensitive Person | sumber : pixabay

Pernahkah kamu kesal ketika orang melabelimu sebagai “manusia baperan”, yang ucapan orang tersebut membuatmu balik mencapnya sebagai “manusia jahat”? Nah, terlepas pernah atau tidak, kadang yang membuatmu kesal sendiri justru karena kamu mengetahui perasaanmu itu terlalu sensitif.

Ketika keadaan jiwa orang-orang di sekitarmu mampu mempengaruhi emosimu, hingga kamu rentan sekali tersindir dan terganggu dengan suara-suara mereka, itu artinya kamu sudah masuk ke dalam kategori “Highly Sensitive Person” atau HSP. HSP merupakan ciri-ciri kepribadian seseorang dengan tingkat sensitivitas yang sangat tinggi: peka terhadap emosi teman-teman, peka terhadap detail-detail kecil perkataan mereka, dan mungkin sampai peka terhadap stimulus keras seperti bunyi dan cahaya. Biasanya, pengidap HSP ini sering juga dijuluki sebagai “manusia lebay”.  

Namun, di balik presepsi buruknya, sebenarnya gejala HSP itu normal. Bahkan, setelah adanya penelitian, lima belas hingga dua puluh persen orang di dunia ini ternyata tergolong HSP. Lantas, apakah HSP itu sesuatu yang buruk atau baik? 

Perihal itu masih menjadi sebuah perdebatan. HSP bisa menjadi sesuatu yang buruk, tetapi bisa juga sebaliknya. HSP yaang berdampak baik tentu saja alaasannya karena kamu yang HSP cenderung lebih sadar terhadap kondisi emosional diri. Itu pertanda kamu lebih cepat mengetahui kalau terjadi sesuatu yang salah dengan kehidupanmu dan kamu juga biasanya lebih empatik serta peduli terhadap orang lain. Hal-hal tersebut menjadi suatu kelebihan yang bisa dibanggakan—dan tidak semua orang seperti itu. Coba seandainya kamu tidak peduli, bisa jadi masalah-masalah yang kamu hadapi tidak akan pernah selesai.

Hanya saja, semua hal yang berlebihan itu tidak baik. Rasa sensitif itu bisa jadi berbahaya jika kamu benar-benar hipersensitive. Contohnya, kamu memiliki perasaan yang mudah menganggap bahwa semua hal itu selalu berkaitan denganmu. Kamu selalu memikirkan perkataan-perkatan orang-orang yang akhirnya membuatmu marah, sedih, lalu menangis, padahal mungkin itu bukan urusanmu dan mungkin bukan juga tentang dirimu. Jika sudah seperti itu, artinya kamu sudah hipersensitive.

Menurut Henry Manapiring dalam buku “Filosofi Teras”, prinsip mengatasi hipersensitive tergantung dari caramu bereaksi terhadap omongan atau perilaku dari luar yang kamu terima. Sebagai contoh, kamu disindir mengenai penampilanmu—yang sebenarnya kamu sendiri merasa tidak ada yang salah dengan penampilanmu. 

Dari sana sebetulnya kamu bisa memilih antara mau peduli atau tidak. Masalah justru akan terjadi apabila kamu mendengarnya dan peduli. Kamu jadi mulai membenci pelakunya dan memikirkan sindirannya berhari-hari. Kamu terlarut dalam emosi yang berada dalam siklus kemarahan atau anger adjustment. Fokusmu mulai terpecah. Pekerjaan daan kegiatan harianmu menjadi kacau. Semua yang kamu pikirkan itu seperti rangkaian mimpi buruk, padahal kamu seharusnya bisa saja tadinya hanya mendengar sindiran atau hinaannya, lalu menjadi tidak peduli.

Lalu, bagaimana caranya supaya tidak terlalu sensitif untuk hal-hal yang sebenarnya tidak penting? Caranya, kamu harus mengetahui terlebih dahulu hal-hal penting yang berkaitan dengan hidupmu. Itu saja yang harus kamu perhatikan. Sisanya adalah pengganggu yang ingin merenggut hal-hal penting dari hidupmu. Berpikirlah, apakah sindiran atau hinaan itu bernilai atau sekadar emosi penyindir yang tidak jelas? Jika sudah mengetahui jawabannya, kamu akan tidak peduli terhadap semua gangguan itu.  

Elaine Aaron, seorang psikolog yang menulis buku “Highly Sensitive Person” mengatakan kunci utama pengidap HSP adalah mereka harus melihat HSP itu sebagai sesuatu yang menguntungkan. Gunakan kepekaan itu sebagai kelebihan, bukan kekurangan. Karakteristik-karakteristik itulah yang sebenarnya akan membantumu menjalani sebuah hubungan sosial. Kamu bisa mengaplikasikan kepekaan itu ke orang-orang sekitarmu: keluarga, teman, sahabat, dan kekasih. Jadi ketika ada hubungan yang salah antara kamu dan mereka, kamu bisa mengcounternya lebih awal. 

Coba bandingkan kepekaan itu dengan sikap tidak peduli atau cuek. Pada dasarnya ketidakpekaan itu sejatinya lebih mirip bom waktu yang bisa kapan saja merusak interaksi sosial. Seandainya kamu berada pada posisi itu, kamu tidak akan bisa mengidentifikasi apakah orang merasa nyaman terhadapmu atau tidak? Apakah perkataanmu benar atau tidak? Perilakumu salah atau tidak? Susah, bukan?

Namun, kamu tetap harus hati-hati. Biasanya, orang dengan HSP itu memiliki satu isu: overthinking atau berpikir secara berlebihan. Overthinking tentu dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental seseorang. Kamu memikirkan banyak hal sehingga menyebabkan kamu malah tidak melakukan apa-apa. Padahal, HSP bisa dijadikan momentum untuk menghasilkan sebuah karya. Menariknya, jika momentum ini digunakan sebaik-baiknya, karya yang kamu hasilkan jauh lebih autentik sebab didukung dengan sebuah emosi yang pas.

Begitulah beberapa siasat mengatasi hipersensitive. Selanjutnya, satu pertanyaan muncul. Apakah kiat tersebut mudah dilakukan? Untuk Highly Sensitive Person akut jawabannya: TIDAK. Alih-alih ingin melupakan sesuatu dan menjadi tidak peduli terhadap gangguan, kamu justru memikirkan apakah nanti akan terjadi begini atau begitu. 

Hasilnya, kamu akan memiliki kecemasan dan kekhawatiran yang tinggi. Nah, jika isunya seperti itu, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kamu jelas-jelas membutuhkan seseorang penenang. Kamu membutuhkan seorang psikolog atau guru spiritual yang bisa memandumu menyingkirkan kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan membuatmu melihat banyak hal secara lebih rasional, apa adanya, serta obyektif. Percayalah, sesuatu yang buruk itu bisa kamu kendalikan. Jalani saja semua langkahnya dan berproseslah. Kamu memiliki pilihan untuk berubah dan menjadi lebih tenang.*

Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan –

*Inspirated by satu persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun