Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resistensi Menulis dan Kiat Menaklukkannya

3 Juli 2021   19:23 Diperbarui: 3 Agustus 2021   20:13 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by iStock

Sebuah channel Youtube membuat saya tertarik menontonnya. Salah satu kontennya membahas secara umum mengenai perubahan seseorang yang ingin berhasil atas keinginannya. Saya mencoba mengkonversikan isi konten tersebut ke dalam dunia tulis-menulis.

Satu pendapat menyatakan bahwa langkah awal menjadi penulis adalah tulislah apa saja yang ingin kautulis dan lakukanlah secara terus menerus, maka pasti akan membuatmu lebih cepat berhasil. Pendapat ini kemungkinan bisa jadi benar, tetapi tidak sepenuhnya tepat. Mari kita tinjau keadaan awalnya.

Kita, seorang penulis (katakanlah pemula), berkeinginan melakukan perubahan tulisan secara habis-habisan dan sekaligus dalam kurun waktu yang singkat. Namun, lihatlah apa yang terjadi? Keinginan tersebut bisa dipastikan gagal. 

Mengapa? Karena pada dasarnya manusia itu tidak suka disrupsi—perubahan yang terlalu banyak sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman. Meskipun bisa menjadi semacam motivasi pada sebagian orang, perubahan yang tidak nyaman ini akan menjadi semacam resistensi, yaitu perasaan melawan yang ada di dalam diri kita ketika ingin melakukan sesuatu yang kita tahu itu adalah hal penting. 

Jadi, resistensi yang kita bahas ini bukan terkait disiplin atau motivasi untuk menaklukkan halangan tersebut, melainkan bagaimana kita dengan pintar merendahkan resistensinya supaya lebih mudah maju, terkonsistensi, dan prosesnya bagus.

Kunci untuk merendahkan resistensi ini adalah perubahan sistematik. Targetnya tentu saja perubahan total dan mendasar. Dari sini kita dituntut berpikir dan bertindak secara cerdas terlebih dahulu. 

Artinya, apa yang kita lakukan merupakan strategi yang memang bisa menaikkan tingkat keberhasilan itu dengan cara tidak gegabah. Kemungkinan prosesnya bisa jadi lebih lama dalam kurun waktu yang ditargetkan, katakanlah tiga bulan (mungkin tidak sesingkat ini), enam bulan, satu tahun, atau bahkan bertahun-tahun. Namun, hasilnya, kita akan benar-benar menjadi penulis dengan karya yang sangat jauh berbeda dari awal menulis.

Langkah apa saja yang kita butuhkan?

Pertama adalah atur tujuan. Kesalahan yang banyak dilakukan penulis pemula ketika mengatur tujuan adalah membuat tujuan terlalu lebar dan tidak spesifik. Misalnya, seseorang ingin buru-buru menerbitkan satu buku atau novel. Itu bagus, tetapi bukan poinnya. 

Apakah aspirasi menerbitkan buku atau novel benar-benar sebuah keinginan? Mengapa harus menerbitkan buku atau novel? Apa arti di balik tujuan itu? Penjelasan itu adalah prosesnya dan sekadar strategi dengan apa yang menjadi suatu keinginan. Tujuan itu justru menjadi tidak lengkap—dan semestinya kita tahu apa yang mesti diincar hanya dengan membaca pertanyaan sulit tersebut.

Menerbitkan buku atau novel mungkin merupakan sebuah prestise bagi penulis. Dengan demikian, orang-orang akan memberi respect atau perhatian lebih. Hal itu tidak buruk juga. 

Namun, cobalah kita pikir. Apakah dengan kita buru-buru menerbitkan satu buku atau novel merupakan satu-satunya cara menjadikan orang lain langsung tertarik bahkan memberi perhatian terhadap kita? Padahal yang dibahas di awal bukan tujuan akhirnya. Silahkan kita bertanya kepada diri sendiri. Memangnya, apa yang ingin kita dapatkan dari menerbitkan buku atau novel? Kebanggaan? Lalu, apa yang bisa kita dapatkan dari itu?

Baiklah, semisal kita masih belum punya tujuan, tanyakan kepada diri sendiri lagi. Nilai apa yang ingin kita tuangkan untuk dapat dihargai di kehidupan ini. Kebebasan? Kebanggaan? Kekuatan? Keuangan? Pengalaman seru? Atau apa? Mari kita keluar dengan berbagai cara untuk mendapatkan hal itu. Nanti setelah jalan dan caranya kelihatan, baru kita bisa tahu keinginan yang sesungguhnya seperti apa.

Kedua adalah kunci kebiasaan. Bukan perubahan yang akan mengubah diri kita, melainkan apa yang kita lakukan secara konsisten atau terus-menerus. Kali ini sebuah pendapat lain menyatakan bahwa banyak orang berpikir akan adanya satu kebiasaan yang bisa membuat hidupnya benar-benar berbeda.

Contohnya seperti ini, jika kita mempunyai rutinitas harian seperti yang dilakukan para penulis terkenal, misalnya Seno Gumira Ajidarma atau bahkan sekaliber dunia Stephen King, kita lantas berpikir akan seefektif dan sesukses mereka. 

Kemudian terjadilah keajaiban: Sim salabim … kejutan! Oh, tidak! Itu jelas tidak akan terjadi. Kita dan orang-orang sukses tidak cuma dibatasi oleh satu kebiasaan saja. Jadi, jika ingin menghasilkan karya sebagus mereka, kita mau tidak mau harus banyak berubah—tidak hanya melakukan satu hal saja. 

Akan tetapi, kebiasaan-kebiasaan para penulis terkenal bisa kita jadikan langkah pertama untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan baru di depan. Inilah yang disebut kunci kebiasaan, yakni kunci untuk bisa menjalani kebiasaan baik selanjutnya. Kunci kebiasaan pertama ini tergantung dari gaya, masalah, dan keinginan kita dalam menulis. 

Jangan lupa, seorang penulis membutuhkan rekan, guru, atau setidaknya teman seperjuangan secara signifikan, untuk bisa diajak berdiskusi atau diminta masukannya sehingga target yang sudah kita atur akan mudah tercapai. Di samping itu, kunci kebiasaan ini merupakan cara khusus supaya kita tetap bisa konsisten dalam keadaan bagaimana pun.

Selanjutnya adalah perjanjian di awal. Satu hal dasar mengenai manusia adalah manusia itu lebih termotivasi untuk menghindari kejadian buruk dibanding mengejar kejadian baik. Contohnya, mengapa semingguan kita lebih ingin membaca ketimbang menulis? Ini ada hubungan dengan resistensi yang telah dibahas di awal.

Memang, menghadapi resistensi adalah hal yang tidak enak, bahkan ketika “harga”nya adalah sesuatu yg menyenangkan. Jadinya, aktivitas membaca semingguan ini menunjukkan resistensi yang benar-benar nol sehingga kita tidak menulis apa-apa. 

Kita termotivasi menghindari pengalaman buruk menulis—karya yang selama ini kita hasilkan menuai kritik pedas dan cacim aki pembaca—dibandingkan membaca karena adanya resistensi di sana. Seharusnya, hal dasar ini bisa dimanfaatkan sebagai rutinitas dengan cara melakukan perjanjian di awal. 

Perjanjian ini merupakan sebuah proses mengatur konsekuensi terkait hal-hal yang mau atau tidak dikerjakan. Tidak semudah itu, tapi intinya setelah mengatur kebiasaan yang ingin kita bentuk, misalnya menulis setiap jam enam pagi, maka buatlah perjanjiannya, buat aturannya, konsekuensinya, jika gagal atau pun berhasil. Makin berani membuat aturan, tekanan yang kita hadapi bisa membuat kita bergerak semaju-majunya.

Terakhir, lingkaran kebiasaan. Satu kebiasaan tidak akan mengubah hidup kita. Jadi, sebaiknya kita memasukan beberapa kebiasaaan. Kita akan memberikan waktu untuk kebiasaan yang lagi kita bentuk supaya kokoh: membaca ulang materi, membaca karya-karya bagus, melakukan ritual keagamaan, dan lain sebagainya sebelum melakukan aktivitas menulis. Secara berkesinambungan, hal-hal tersebut lambat laun akan menjadi semacam siklus.

Pertanyaannya, berapa lama waktu yang kita butuhkan dalam membentuk kebiasaan hingga menjadi sebuah siklus? Banyak perdebatan mengenai hal ini karena setiap orang akan menemukan waktu settle otomatisnya masing-masing. Meskipun masing-masing berbeda dalam menemukan waktu tersebut, membandingkan diri sendiri dengan orang lain bukanlah merupakan hal yang bijak. 

Jadi, tambahannya adalah yang harus kita kalahkan itu adalah diri kita yang dulu, minimal kita sudah mengalami perubahan menulis yang baik. Bagus, kan?

Kesimpulannya, kita tidak harus cepat-cepat sukses. Ambil waktu kita dan nikmati segala prosesnya.

--- 

- S Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun