Mohon tunggu...
Shy Star
Shy Star Mohon Tunggu... -

Pikiran sehebat apa pun, tak bermakna jika tidak dituliskan. Tulisan sehebat apa pun, tak berguna jika tidak menggugah untuk dilaksanakan. BERPIKIR, BERTINDAK, BERHASIL.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Berbagi Hati

2 Juni 2010   07:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_156261" align="alignleft" width="300" caption="Berbagi Hati"][/caption]

“Maafkan aku, Manda. Aku hanya menganggapmu teman, tak lebih…,” ucap Alex dengan nada lemah.

“Uhm, baiklah.” Seulas senyum mengembang di bibir penuh milik Manda, menanggapi respon Alex atas perasaannya.

Menit-menit berikutnya, obrolan mengalir santai. Tak ada gurat kecewa di wajah Manda. Tampaknya, dia telah mengantisipasi penolakan itu. Alex pun tak canggung meladeninya mengobrol. Itu peristiwa lima tahun lalu. Saat pesta perpisahan SMA.

***

“Kak, sudah siap belum ? Sudah siang, nih !” pekik Luna kepada Manda. Luna berada di atas motor yang sedang menderu mesinnya. Dia sudah berada di pekarangan rumah, menunggu Manda. Mereka hendak berangkat kerja, kebetulan tempat kerja Luna dan Manda searah, jadi mereka selalu berangkat bareng.

“Iya, iya. Ini lagi pakai helm, kok. Sabar dong.” Terdengar sahutan Manda dari dalam rumah.

“Yuk, kita berangkat !” ujar Manda sambil menepuk pundak Luna. Manda sudah berada di boncengan Luna.

‘Ini hari Senin, pasti jalan raya di ujung sana ramai oleh lalu-lalang kendaraan,’ batin Manda dalam hati. Ada perasaan cemas menggelayuti hatinya.

“Hati-hati, Lun ! Jalanan rame, nih.” Manda berusaha mengingatkan adiknya yang menyetir motor.

“Iya, Kak. Lagian, pasti ramelah . . . namanya juga jalan raya. Kalo sepi tuh, kuburan namanya.” Canda Luna menimpali ujaran kakaknya. Mereka tertawa bersama.

Saat itu mereka sedang berada di pertigaan jalan. Dari sebelah kiri, sebuah motor menyalip mereka. Motor yang dinaiki Luna dan Manda tersenggol motor tersebut dan terjatuh.

Guubraaaak.…praaakkk !!!

“Aaaaaaarrrrrgggggggghhhh….” Terdengar suara mendengking tinggi.

Luna terseret bersama motornya beberapa meter, sedangkan Manda terguling di aspal. Na’as bagi Manda, sesaat kemudian dari arah belakang datang sebuah motor yang melindas kakinya. Kejadiannya begitu cepat dan beruntun.

“Hei, ada kecelakaan ! Lekas tolong mereka !” suara orang-orang di sekitar tempat kejadian. Banyak orang berkerumun. Luna dan Manda ditepikan oleh orang-orang di tepi jalan yang sedang menunggu angkutan umum. Si pengendara motor yang melindas kaki Manda juga turut membantu. Sedangkan, motor yang tadi menyenggol mereka sudah melarikan diri.

Manda tak sadarkan diri, sepertinya kaki Manda patah. Luna hanya menderita lecet dan luka ringan, dia shock melihat keadaan kakaknya. Sementara, si pelindas kakinya Manda sedang sibuk menelepon.

“Sebentar lagi ambulans datang,” ucap si pengendara motor itu.

“Saya akan bertanggung jawab pada gadis yang kakinya terlindas oleh motor saya ini. Saya bekerja di Rumah Sakit swasta di dekat sini. Mohon sabar, ya. Sebentar lagi, kalian akan diangkut oleh ambulans dari Rumah Sakit tempat saya bekerja,” papar si pengendara motor ke Luna.

Luna hanya sanggup mengangguk lemah dalam posisi duduk terkulai lemas sambil memandangi kakaknya yang masih pingsan di sampingnya. Setidaknya dia dapat merasa sedikit tenang, karena sudah ada ambulans yang sedang menuju ke TKP. Dia mencemaskan keadaan Manda. Luna berusaha membuka helm Manda, si pengendara motor dengan sigap membantunya. Pria tersebut tercekat saat melihat wajah di balik helm itu, “Manda !?”

“Loh, Anda mengenal kakak saya ?” tanya Luna terperanjat.

“Uhm, iya. Manda teman saya masa sekolah di SMA dulu,” jawab si pria.

Suara sirine ambulans mendekat. Tubuh Manda mulai diangkut ke atas ambulans, Luna pun turut naik. Si pria nampak sedang berurusan dengan polisi. Dia meminta ijin ke polisi untuk bicara sebentar ke Luna.

“Ini kartu nama saya. Kamu tenang saja, saya akan urus motor kamu itu. Setelah itu, saya akan menyusul kalian ke Rumah Sakit. Soal biaya pengobatan, biar saya yang tanggung. Saya sudah bilang ke pihak Rumah Sakit tadi. Oya, kamu sudah kabari orang rumahmu ?” si pria menjelaskan panjang lebar.

“Belum, terima kasih,” ucap Luna lirih. Dia baru sadar bahwa dia belum mengabari kejadian ini ke rumah. Gegas diraihnya tas kerjanya, mencari handphone untuk menelepon ke rumah.

***

Alex baru saja tiba di Rumah Sakit tempatnya bekerja. Segera dicarinya informasi di kamar mana Manda dirawat. Di koridor lantai dua dia bertemu dengan Luna yang baru keluar dari toilet.

“Bagaimana keadaanmu ?” tanya Alex.

“Hanya luka ringan dan sedikit lecet, Kak . . . “ ucap Luna menggantung.

“Oya, nama saya Alex,” sahut Alex tersadar bahwa mereka belum berkenalan.

“Saya . . . Luna, adiknya Manda,” sambut Luna sambil mengulurkan jabatan tangan.

“Ah, sebuah perkenalan yang tak menyenangkan, bukan ? Kamu mengenal saya dalam posisi sebagai pelindas kaki kakakmu, bukan sebagai temannya. Maafkan saya atas yang menimpa kakakmu, Luna.” Ada penyesalan dalam nada bicara Alex.

“Iya, posisi Kak Alex memang sulit. Tapi, kecelakaan ini bukan murni kesalahan Kak Alex. Karena sebelumnya motor kami tersenggol oleh seseorang yang menyalip dengan kecepatan tinggi, kami pun terjatuh. Lalu, sesaat kemudian motor Kak Alex melintas dan terjadilah musibah na’as yang menimpa Kak Manda itu. Kejadiannya begitu cepat, tak mungkin untuk menghindar. Tak ada yang bisa menghindari nasib buruk, Kak,” terang Luna panjang lebar.

“Kamu benar, tak ada yang bisa menghindari nasib buruk,” ucap Alex mengulang perkataan Luna dengan tatapan menerawang.

Sejenak kemudian Alex baru tersadar, “Bagaimana keadaan Manda ?”

“Masih dalam pemeriksaan dokter. Ada kemungkinan Kak Manda lumpuh.” Ucap Luna dalam tangis.

“Apa . . . lumpuh ?!” Alex merasa lemas dan terpukul mendengar itu.

***

Manda terbaring di tempat tidur kamar rawat inapnya di Rumah Sakit, ditemani keluarganya. Saat itulah Alex bersama istrinya datang menjenguk.

“Assalamualaikum . . .” ujar Alex dan istrinya di ambang pintu.

“Wa’alaikumsalam . . .” sahut orang-orang di dalam kamar Manda itu.

“Selamat malam, semuanya. Hai, Manda . . . bagaimana keadaanmu ?” ucap Alex membuka percakapan.

“Hai, Al . . . seperti yang kau lihat,” jawab Manda sambil menyibak selimut yang menutupi kakinya.

“Aku lumpuh . . . .” sambung Manda tanpa ekspresi.

Alex merasa sangat bersalah, dia menunduk pilu. Sementara istrinya merasa kikuk di sampingnya. Tangan istrinya yang memeluk rapat lengan kanannya, menyadarkan Alex bahwa dia datang ke situ tak seorang diri.

“Oya, perkenalkan . . . ini istriku,” Alex mencoba mengalihkan pembicaraan.

Manda menyambut dingin uluran tangan istri Alex.

“Kapan kalian menikah ? Kok, aku nggak diundang, yah ? Apakah begitu cara seorang Alex memperlakukan teman ?” Manda menghujani Alex dengan pertanyaan.

“Maaf, aku lupa mengundangmu, Manda.” Alex semakin salah tingkah. Sedangkan Manda hanya mendengus kesal, tanpa mau melihat ke arah Alex dan istrinya.

“Oya, Om dan Tante . . . kalau butuh apa pun untuk pengobatan Manda, tinggal hubungi saya saja. Saya bekerja di Rumah Sakit ini. Saya sudah berikan kartu nama saya ke Luna. Kamu masih simpan kartu nama saya ‘kan, Luna ?” tanya Alex sembari memandang ke arah Luna.

“Masih, Kak Alex,” angguk Luna kalem.

“Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas musibah yang menimpa Manda.” Alex mengucapkannya dengan takzim dan penuh penyesalan.

“Iya, tolong maafkan suami saya. Kecelakaan ini di luar kemauannya, Mbak Manda mau ‘kan . . . maafin suami saya ?” ucap istri Alex menghiba.

“Yeee . . . lagian siapa juga yang mau celaka dilindes kakinya ama suami kamu ? Pake ngomong ‘di luar kemauannya’ segala ! Gara-gara dia, aku menjadi lumpuh dan pernikahanku batal, tau kamu . . . !!” cerocos Manda sewot, tanpa pikir panjang dia menumpahkan kekesalannya.

“Maksud kamu apa, Manda ?” tanya Alex bingung.

Manda memilih memejamkan matanya yang mulai berlinangan air mata. Dia enggan menjelaskan pada Alex, yang banyak menghadirkan kejengkelan baginya malam ini. Melihat wajah Alex saja sudah membuatnya muak.

Alex adalah pria yang “ditembak”nya lima tahun lalu. Manda menyukai Alex, namun Alex hanya menganggapnya sebagai teman. Oke, Manda bisa menerima keputusan itu—Manda sadar bahwa cinta tak dapat dipaksakan. Namun, Alex menikah tanpa mengundangnya ? Dia tak bisa menerima kenyataan ini. Dia merasa tak dihargai, jika memang Alex menganggapnya sebagai seorang teman, kenapa dirinya tak diundang ? Apakah Alex takut kalau Manda diundang ke pernikahannya, lalu Manda akan mengacaukannya ? Huh, picik sekali si Alex ini, jika benar itu yang menjadi alasannya tidak mengundangku ke pernikahannya. Begitulah pergulatan batin dan pikiran Manda saat ini.

Ditambah kenyataan bahwa kini dia menjadi lumpuh. Dan hal itu merenggut masa depannya. Dia tak bisa lagi bekerja pada perusahaan tempatnya bekerja kini, calon suaminya pun membatalkan rencana pernikahan mereka yang akan dilangsungkan tiga bulan kemudian. Manda merasa dunianya runtuh.

“Mari, ‘nak Alex. Ikut Om ke luar ruangan, biar Om yang menjelaskan,” ajak Ayahnya Manda.

***

“Tumben nih, sudah malam begini Mama mampir ke sini ? Ada apa, Ma ?” tanya Alex kepada Mamanya.

“Itu loh, Al . . . tadi Mama bareng ibu-ibu pengajian pergi menjenguk anak salah seorang teman pengajian, di Rumah Sakit tempatmu bekerja. Duh, kasian deh ngeliatnya. Kakinya kelindes motor, Al. Terus, jadi lumpuh sekarang,” jawab Mama dengan mimik iba.

“Cewek atau cowok, Ma ?” Alex mulai menerka-nerka. Jangan . . . jangan, Mama habis menjenguk Manda.

“Cewek, Al. Cantik orangnya, Mama ngerasa cepat akrab sama dia tadi. Aneh, ya ? Padahal baru ketemu, tapi rasanya seperti sudah kenal lama gitu deh. Kasihan, calon suaminya meninggalkannya karena dia lumpuh sekarang. Padahal, rencananya mereka akan menikah tiga bulan lagi. Huh, kok tega yah calon suaminya itu. Kata Ibunya, yang nabrak anaknya ternyata teman sekolah anaknya itu. Untungnya, yang nabrak itu mau bertanggung jawab dengan membiayai pengobatannya. Tapi, menurut Mama . . . itu masih kurang bertanggung jawab. Karena si gadis ini kan jadi cacat seumur hidup, mana ada lagi cowok yang mau menikahinya ? Buktinya, calon suaminya aja kabur gitu aja. Dia juga sudah tidak bisa bekerja lagi. Miris ya, Al ?” tanya Mama meminta persetujuan Alex.

“Iya, miris. Menurut Mama, bagaimana seharusnya si penabrak bertanggung jawab ?” tanya Alex dengan menunjukkan mimik serius.

“Yah, dinikahi saja si gadis ini. Orangnya cantik kok, kepribadiannya juga menyenangkan,” ungkap Mama datar.

‘Oh Mama, akulah si penabrak itu’ jerit Alex dalam hati.

“Kalau si penabrak sudah beristri gimana, Ma ? Penyelesaiannya nggak akan semudah itu jadinya,” bantah Alex.

“Iya juga, yah. Mama nggak kepikiran begitu. Habis, Mama lihat anak itu masih muda . . . ada kemungkinan temannya yang nabrak itu juga masih single ‘kan ?” Mama berargumen.

“Oya, Al. Mama ke sini mau minta tolong sama kamu, kamu mau kan nolongin ?” ucap Mama penuh harap.

“Tentang apa, Ma ?” tanya Alex ragu.

“Kamu janji dulu, mau ya ?” Mama meminta kepastian dari Alex.

“Eng . . . iya, Alex janji.”

“Mama benar-benar merasa kasihan sama gadis itu. Nah, dia kan dirawat di Rumah Sakit tempatmu bekerja. Jadi, tolong sering tengokin dia yah, demi Mama . . . Al. Kamu mau kan ? Dia butuh disemangati, Mama melihat kesedihan yang sangat mendalam di matanya. Besok Mama mau titip kue buatan Mama untuknya, kamu mampir dulu ke tempat Mama yah sebelum berangkat kerja ?” pinta Mama.

“Iya, Ma.” Berat bagi Alex menyanggupi permintaan Mama kali ini.

“Sekarang Mama pulang dulu, besok jangan lupa yah ?! Assalamualaikum,” pamit Mama.

“Wa’alaikumsalam,” sahut Alex.

Setelah itu, Alex merenungi obrolannya dengan Mama tadi. Dia merasa ada benarnya juga yang disampaikan Mama, bahwa Manda kini menjadi penyandang cacat seumur hidup. Takkan ada pria yang mau memperistrinya. Kasihan Manda.

***

Pada Minggu pagi yang cerah, Alex bersama istrinya pergi mengunjungi orangtua Alex.

“Ma, Pa . . . ada yang mau Alex utarakan pada Mama dan Papa,” ucap Alex sebagai pembuka percakapan.

“Ada apa, Al ? Sepertinya sesuatu yang serius, ya ?” tanggap Papa melihat ekspresi wajah anaknya itu.

“Iya. Ini tentang gadis yang di Rumah Sakit itu, Ma, Pa . . .” papar Alex dengan hati berdebar.

“Eh, kenapa dia, Al ? Jangan katakan ada hal buruk lagi yang menimpanya, sudah cukup deritanya itu,” Mama terlihat cemas.

“Bukan, Ma. Tak ada hal yang lebih buruk baginya, selain kehadiran Alex dalam hidupnya,” ungkap Alex sedih.

“Maksud kamu, apa ?” ucap Papa dan Mama hampir berbarengan.

“Begini, nama gadis itu adalah Manda. Dia adalah teman sekolah Al, masa SMA dulu. Dan Alex yang sudah menabraknya, Ma. Alex yang sudah membuatnya lumpuh, membuatnya kehilangan masa depan.” Alex tak sanggup menahan sesak di dadanya, dia bicara sambil menangis.

“Al turuti permintaan Mama, untuk menjenguknya sesering mungkin. Benar kata Mama, kesedihannya sangat mendalam. Sepertinya . . . dia sudah tak ada semangat hidup lagi. Al merasa tersiksa, Ma . . . setiap Al menjenguknya, dia menatap penuh kebencian pada Al. Padahal, mata itu dulu selalu memandang penuh cinta. Dulu, dia pernah naksir Al,” lanjut Alex.

“Oh, anakku. Mama tidak tahu, kalau kamulah yang menabraknya. Jika Mama tau, tentu takkan memintamu demikian. Maafkan Mama . . .” isak Mama.

“Lalu, apa bentuk tanggung jawabmu padanya, Al ?” tanya Papa.

“Ya, Al sudah membiayai semua pengobatannya, Pa. Tapi, rasanya itu tidak setimpal dengan derita yang menimpanya. Manda menjadi penyandang cacat seumur hidup, kehilangan pekerjaannya dan kehilangan calon suaminya. Itu semua karena Al . . .” ucap Alex.

“Nikahi Manda, Al . . .” tandas Mama dengan tegas.

“Tidaaak !” ucap istri Alex dengan terkejut, tak menyetujui ide Mama.

“Apa-apaan sih, Mama ini ?” tanya Papa dengan heran.

“Gadis itu telah kehilangan masa depannya, karena Alex anak kita, Pa. Haruskah dia kehilangan nyawanya, karena Alex juga ? Dia sudah tak punya harapan untuk masa depannya, dia akan mati secara perlahan . . . dimulai dari semangat hidupnya yang tergerogoti. Tak dapatkah kalian berempati padanya ?” sembur Mama.

“Tapi, bukan begitu solusinya, Ma. Alex kan sudah beristri,” ujar Papa mengingatkan.

Mama mendekati istri Alex, “Nak, kamu ingin suamimu menebus kesalahannya kan ? Tak ingin dia menjadi seorang pembunuh, setelah menjadi penghancur masa depan seorang gadis kan ? Bayangkan jika kamu yang berada pada posisi Manda, pikirkan. Kamu rela kan, jika harus berbagi masa depan dengannya ?”

“Dan kamu, Alex. Kamu harus siap memperistri Manda, tunjukkan bahwa kamu bertanggung jawab. Manda pasti bahagia jika kamu mau memperistrinya. Bukankah dia pernah menyukaimu, katamu tadi kan ? Semangat hidupnya akan menyala kembali.” Ucap Mama kepada Alex.

“Ma, cukup ! Jangan mendesaknya seperti itu,” pungkas Papa.

Keheningan menguasai ruangan untuk beberapa saat. Tiba-tiba istri Alex angkat bicara, “Saya ikhlas, jika Bang Alex berniat memperistri Mbak Manda.”

“Alhamdulillah, terima kasih . . . ‘Nak,” ucap Mama terharu. Papa dan Alex hanya terdiam.

***

“Manda, masih ingat Tante nggak ?” tanya Mamanya Alex.

“Ingat, Tante yang jenguk saya beberapa hari lalu bareng ibu-ibu pengajian kan ?” jawab Manda ramah.

“Betul. Manda, maukah kamu menikah dengan anak Tante ?”

“Hah ?! Tante nggak salah ngomong nih, saya ini lumpuh. Nggak akan bisa menjadi istri yang baik untuk anak Tante, yang bisa merawat suami. Yang ada malah . . .” tak sempat Manda menyelesaikan ucapannya, karena bibirnya ditempeli telunjuk kanan Mama.

“Mbak Manda nggak usah repot, ada saya yang membantu merawat suami,” suara istri Alex terdengar bersamaan dengan kehadirannya bersama Alex di ruang rawat inap itu.

“Ya, Manda . . . Aku berniat memperistrimu. Mama dan istriku, mendukung niat baik ini,” suara Alex terdengar jernih.

Manda tercenung sesaat, sebelum akhirnya mengucapkan, “Aku tak butuh rasa kasihanmu.”

“Manda, bukankah kamu menyukai Alex ? Ijinkan dia bertanggung jawab atasmu. Buanglah egomu, sebagaimana Alex dan istrinya telah menaklukkan ego mereka . . . untuk berbagi hati, berbagi masa depan denganmu. Kamu berhak bahagia, sayang . . . Ijinkan Alex menjadi sumber kebahagiaanmu. Ingatlah firman-Nya : ‘Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan’. Kamu percaya itu, kan ?” rayuan lembut Mama mampu melumerkan hati Manda.

Anggukan Manda menjadi suka cita mereka bersama.

Sayup terdengar dari MP3 player milik Manda, lagu “Selir Hati” yang dinyanyikan oleh The Rock :

aku cinta kamu tapi kamu tak cinta aku ku tak pernah tahu apa salahku hingga kamu tak suka aku tak mau aku

mungkin di matamu aku tak pantas untukmu tapi tak mengapa aku sadari kekuranganku ini

aku rela oh aku rela bila aku hanya menjadi selir hatimu untuk selamanya oh aku rela ku rela

= TAMAT =

*gambar dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun