Pada masa penjajahan, Jember bukanlah kabupaten yang secara administratif langsung berada di bawah Provinsi, melainkan secara administratif berada dalam cakupan wilayah karesidenan (Regentschappen). Karesidenan merupakan wilayah administratif di era kolonial yang dikepalai oleh seorang residen dan merupakan bagian dari provinsi atau gubernemen. Sebuah karesidenan terdiri dari beberapa wilayah Kabupaten. Pada masa itu, wilayah Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi merupakan wilayah administratif Karesidenan Besuki.
Saat masih tergabung dalam wilayah Karesidenan Besuki, Jember merupakan kawasan hinterland atau kawasan subur yang berfungsi sebagai pemasok bahan makanan pokok dan komoditas ekspor bagi kawasan pusat kota. Sedangkan yang saat itu menjadi kawasan pusat administrasi (politik) pemerintahan dan kegiatan ekonomi di Karesidenan Besuki adalah Situbondo yang kondisi tanahnya kurang subur. Perlu diingat bahwa wilayah eks-Karesidenan Besuki tidaklah identik dengan wilayah Tapal Kuda. Istilah yang disebut terakhir meliputi 4 Kabupaten Karesidenan Besuki ditambah dengan dua kabupaten eks-Karesidenan Malang, yakni Kabupaten Lumajang dan Probolinggo.
Babad Alas Besuki
Sebagai warga eks-Karesidenan Besuki tentu kita harus tahu sejarah awal Besuki. Sejarah tersebut dimulai pada tahun 1743 M, dengan kisah hijrah Kyai Abdurrahman Wirobroto dari kawasan yang kini menjadi Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Pamekasan yang kala itu mengalami kekeringan panjang untuk mencari area baru yang subur untuk bercocok tanam. Sumber sejarah menyatakan bahwa ayahnya bernama Raden Abdullah Surowikromo, yang merupakan saudara dari Raden Zaenal Abidin alias Susuhunan Pakubuwono II. Sumber lain justru menyatakan bahwa Raden Abdullah Surowikromo justru merupakan putra dari Pakubuwono II. Singkat cerita, Kyai Abdurrahman Wirobroto sampai di daerah ujung timur Jawa, kemudian membuka lahan yang kala itu masih berupa hutan belantara, untuk dijadikan tempat bercocok tanam.
Wilayah tersebut ternyata memiliki tanah yang subur, sehingga apa yang ditanam olehnya dapat tumbuh dengan baik. Hal tersebut membuat Kyai Abdurrahman memutuskan kembali ke Pamekasan untuk menjemput keluarganya beserta sekitar 20 keluarga lainnya untuk berhijrah ke wilayah baru tersebut. Karena belum memiliki nama, wilayah itu kemudian dinamai Nambekor, berasal dari kata "Nambeg" yang artinya "Berlabuh". Kini wilayah tersebut kita jumpai dengan nama Demung, salah satu desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo.
Setelah diangkat menjadi demang, Raden Bagus Kasim tinggal di sebuah rumah yang juga ia pergunakan untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai demang sekaligus di rumah itu pula ia melakukan pertemuan-pertemuan dengan warga masyarakatnya. Rumah yang dikenal dengan sebutan Dalem Tengah tersebut kini masih bisa dijumpai sebagai salah satu peninggalan sejarah Besuki. Letaknya ada di Jl. Wirobroto, sebelah utara alun-alun Besuki, tepatnya berada di gang masuk deretan toko-toko kawasan pecinan.
Asal-Usul Nama Besuki
Saat Bagus Kasim menjadi Demang, wilayah Nambekor berkembang menjadi ramai. Hal ini membuat Tumenggung Joyolelono, penguasa Wilayah Banger/Probolinggo kala itu memberikan gelar Wirodipuro kepada Raden Bagus Kasim. Wirodipuro artinya adalah orang yang membuka lahan. Sedangkan nama Nambekor sebagai sebuah kademangan diubah menjadi Kademangan Besuki.
Adapun mengenai asal kata "Besuki", satu sumber sejarah menyatakan bahwa kata tersebut terambil dari nama Han Soe Kie, seorang saudagar kaya raya Cina keturunan Dinasti Han yang sangat berpengaruh kala itu, yang juga merupakan seorang muslim. Dia adalah mertua dari Raden Tumenggung Moh Ali Prawirodiningrat, yang lebih dikenal dengan nama Pengeran Kolonel. Adapun Pangeran Kolonel adalah putra dari Raden Asiruddin atau Pangeran Notokusumo I, Bupati Sumenep kala itu. Han Soe Kie amat dihormati oleh masyarakat sekitar, mereka memanggilnya dengan Babah Soe Kie atau Bah Soe Kie. Panggilan tersebut dalam logat pribumi kerap bergeser menjadi Basuki atau Besuki.
Sementara pendapat lain menyatakan bahwa kata "Besuki" diduga berasal dari Bahasa Jerman yakni kata "Besuchen" atau "Besuch" yang artinya membesuk atau menjenguk. Hal ini karena banyak juga tentara Belanda di sana kala itu yang berasal dari Jerman.
Setelah Ki Pate Alos meninggal, pemerintahan Kabupaten Besuki diteruskan oleh anaknya, yaitu Raden Sahiruddin Wiroastro yang bergelar Wirodipuro II. Ki Pate Alos maupun Raden Sahiruddin dimakamkan di Kauman Barat atau Kampung Arab Besuki. Makam itu kini pada hari-hari tertentu banyak dikunjungi orang untuk ziarah. Pada setiap malam jumat, bahkan diadakan istighasah yang diikuti oleh ratusan jamaah.Â
Selain itu, sejarah Ke Pate Alos sebagai tokoh pembabat alas besuki juga diabadikan sebagai ikon Kabupaten Budaya Kabupaten yang dilestarikan lewat momen tahunan yang dikemas dalam rangkaian "Situbondo Culture Festival" yang digelar di Alun-Alun Besuki. Dalam rangkaian Situbondo Culture Festival, selain terdapat Festival Pentas Budaya Ki Pate Alos, Â terdapat pula Pasar Rakyat Aneka Kuliner, Festival Maulid Nabi, hiburan panggung Islami, serta Pentas seni dan budaya.
Di pusat Kecamatan Besuki Situbondo anda dapat menemui alun-alun luas yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Besuki di masa silam. Namun sayangnya dokumen sejarah tidak mencatat peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah yang berkaitan dengan alun-alun ini.Â
Besuki Di sebelah selatan alun-alun Besuki, di sudut antara Jalan Ijen dan Jalan Raya Besuki, terdapat bekas kantor kewedanan yang sejak tahun 2008 difungsikan menjadi SMA Negeri 1 Besuki. Bangunan dan struktur lamanya adalah berupa bagian yang sekarang digunakan sebagai kantor, pendopo, serta gapura. Sebelum difungsikan sebagai SMA, bangunan ini sempat kosong.
Pendapat lain menyatakan bahwa penguasa Besuki ketika itu adalah Poerwo Adiwijoyo. Pada tahun 2009, masjid ini dipugar, menara masjid yang sebenarnya hanya terdiri dua tingkat ditambah menjadi empat tingkat. Meskipun demikian, pemugaran tersebut tidak merubah dinding dan bentuk menara di tingkat satu dan dua. Menara ini sekarang difungsikan sebagai menara pengeras suara, dan sebagai ruangan kontrol.
Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa dalam satu scene sejarahnya, Kadipaten Besuki pernah menjadi jaminan gadai. Pada tahun 1770-an, Belanda membutuhkan uang dalam jumlah banyak sehingga menggadaikan wilayah Besuki kepada seorang saudagar Cina muslim di Surabaya yang bernama Han Boei Sing. Ia mengangkat seorang wali dengan pangkat Ronggo di Besuki, hal itu berlanjut hingga sekitar enam Ronggo.Â
Namun justru pada rentang masa pemerintahan para ronggo inilah, pembangunan beberapa item penting di pusat pemerintahan Kadipaten Besuki seperti gedung keresidenan dan kewedanan Besuki serta Masjid Jami' Baiturrahman dilakukan. Hal itu terjadi tepatnya pada sekitaran tahun 1805, ketika Besuki dipimpin oleh seorang Ronggo bernama Suro Adiwijoyo, yang merupakan seorang Cina muslim. Besuki kemudian ditebus kembali oleh Gubernur Jenderal Raffles pada tahun 1813 senilai 618.720 Gulden.
Ketika Indonesia awal merdeka, keberadaan wilayah administratif karesidenan ini masih dipertahankan. Baru sejak tahun 1950-an, wilayah administratif karesidenan dihapus, berikutnya wilayah kabupaten di bawahnya, langsung berada di bawah cakupan wilayah administratif provinsi.Â
Yang tersisa dari sistem karesidenan adalah sistem kode nomor kendaraan bermotor, kendaraan bermotor di wilayah eks-Karesidenan Besuki menggunakan kode plat nomor "P". Adapun Besuki kini turun tingkat menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Situbondo. Masih ada banyak hal berkaitan dengan sejarah Karesidenan Besuki yang tidak semua bisa penulis kupas sekaligus dalam artikel lainnya. Mungkin dalam kesempatan lain penulis akan kupas hal-hal itu dalam artikel lainnya.
Pernah tayang di viva.co.id.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H