Salut dengan perjuangannya, keras kepalanya, dan impiannya yang tinggi sampai kerap kali dianggap mustahil. Tapi, yah begitulah Abraham Soyem, putra Dobo, Kepulauan Aru, Maluku yang seringnya "keluar jalur" kalau urusan kejar mimpi. Orang bilang "seng bisa" (gak bisa), justru bikin dia makin penasaran & berusaha harus bisa. Kalau pun akhirnya gagal, di situlah dia senang karena sudah mencoba & membuktikan bahwa kegagalan itu mesti artistik: harus berusaha sampai membuktikan cara yang dilakukan itu memang salah dan gagal.
Saya banyak belajar dari dia, bukan hanya soal pencapaiannya dari Dobo nun jauh di Maluku hingga berhasil merangsek ke Ibukota Amerika, Washington D.C., tuk menuntaskan kuliah Master of Tourism Administration di George Washington University dalam setahun setengah, atau berhasil internship di  IMF si lembaga yang suka kasih pinjaman uang ke negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia tentunya. Tapi, tentang semangat juangnya yang luar biaso tarado duonyo: ambisius, kompetitif.
Saya ingat cerita dia. Waktu dia lagi di Colombia: negerinya almarhum Pablo Escobar si narcoterrorist alias teroris bersenjatakan narkoba, kabar datang membawa duka bahwa Mamanya berpulang kepada Tuhan. Beta tidak mampu membayangkan, betapa hancur hatinya yang lagi bersemangat menimba ilmu di sana, tapi kedukaan itu membuat air matanya menjadi bah kesedihan yang tak mampu dibendung.
Lalu apa yang terjadi setelah itu? dia bertahan menuntaskan belajar & kembali ke rumah dengan sisa semangat tentang rindu masakan Mama yang tak lagi bisa dia cicipi, juga pelukan hangat mama yang hanya bisa dia rasakan ketika seluruh badannya menimpa timbunan tanah kuburan & nisan sang ibu.
Hancur. Gak bisa lagi dijelaskan itu perih yang disebabkan kehilangan satu-satu support system yang tak sedikitpun menaruh curiga apalagi ragu padanya. Dari sana, dia punya kebiasaan "bangun malam", merapatkan kedua telapak tangan, lalu merapal doa sepanjang yang dia inginkan. Dia, bukan pria yang tampak religius, tapi dia kerap memadu curhat pada Tuhan dalam temaram lampu kamar ketika orang lain lelap dalam hikayat mimpi malam.
Pernah, suatu waktu kami tengah sibuk merajuk restu dari beberapa kampus di Amerika. Kebetulan, kami mendaftar di kampus yang sama. Kami tak pernah putus koordinasi, berkirim email mengiba Leter of Acceptance (LoA), sampai merayu para profesor untuk membantu. Saking seriusnya berproses, rupanya suatu pagi yang azan shubuh baru saja usai, HP saya berdering...
"Wee guys e, Ko su dapa LoA dari kampus A? (Eh guys, kamu sudah dapet LoA dari kampus?)" Tanya dia di ujung telepon dengan nada suara yang lemah.
"Belum. Kenapa pagi begini pas orang mau shubuhan, Ko malah telpon?" Saya membalas.
"Sudah, Ko doakan beta pas sholat. Tapi sebelum sholat, beta mau carita." Wah, panjang nih, gumam saya.
"Weh, tapi Ko kan Kristen. Masa beta doakan Ko. Ingat, Ko itu Yesus harga mati & NKRI di dada."
"Heh, parsetang (bodoamat). Yang penting doakan Beta."
"Jadi bagini...bla...bla...bla..." ceritanya singkat.
Rupanya, semalam selepas berdoa, dia tertidur lalu terbangun lagi, dan langsung cek email. Puji Tuhan, LoA dari kampus tujuannya sudah masuk ke email dan akun pendaftaran dia. "CONGRATULATION, Abraham." Begitu yang tertera dalam surat itu.
Eh, jam 5 pagi, dia terbangun lagi. Tapi merasa ada yang ganjil. "Perasaan tadi beta su bangun, kenapa sekarang berasa kayak baru bangun lagi?" Dia pun bingung. Lalu, berinisiatif mengunduh LoA yang sudah dia kantongi semalam buta, berniat dikirimkan ke saya sebagai bahan PAMER. Murni mau "PAMER DAN SOMBONG."
Alhasil, telepon saya berdering di awal shubuh itu dan dengar pengakuannya bahwa semua email masuk & LoA yang dia lihat itu, ternyata CUMA MIMPI. Halu, guys. Lantas kami tertawa memecah dingin subuh Jakarta yang sudah mulai berisik pemotor.
Lanjut, tak hanya sekali halu. Rupanya Covid 19 sepanjang 2021 sudah menghantam kesadaran pikir kami. Bagaimana tidak, sisa uang di ATM tipis sekali. Kami berinisiatif "baku tamba" alias patungan transfer antar ATM demi menggenapi sisa saldo.
"Bapa pendeta, beta su transfer. (Bapa pendeta, saya sudah transfer)," kata saya di ujung telpon.
"Pas suda, aman. Beta pigi cek. (pas banget, aman. saya pergi cek)." katanya sembari terdengar buru-buru keluar kosan.
Setiba di ATM BRI yang ada di Alfamart, senyumnya mengembang, lebih lebar dari Rafflesia Arnoldii. Jumlah yang masuk melebihi ekspektasi. Dia tak sangka saya kirim sebanyak itu. Pokoknya lebih besar dari gaji kerja dia.
Dengan hati penuh riang dan sudah mulai semringah, sedikit pecicilan aslinya, dia memutuskan tak ambil itu uang. Lantas, memilih belanja dengan 50 ribu sisa di kantongnya, membeli beberapa indomie rebus varian rasa, membagi sebotol aqua ke tukang jahit keliling dekat Alfamart, & membeli sendal di emperan. Blas, bablas 50 ribu ludes akibat ledakan hormon endorfinnya sehabis tengok isi ATM.
Pulanglah dia ke rumah. Bertahan dengan makanan yang ada. Tiga hari berlalu, dia ingin makan enak. Katanya, self rewarding dengan makan pecel lele andalannya yang uenak pol. Akhirnya, dia tiba di depan ATM BRI Alfamart yang sama. Pencet PIN dengan lulus, cek saldo, lalu seketika matatanya terbelalak lebih lebar dari sebelumnya. "What?" Senyumnya mengembang dengan diameter yang tak dapat dihitung, saking absurdnya arti senyum itu. Kemudian disusul tawa terkekeh yang menghebohkan satu Alfamart.
Apa sebabnya? Di ATM tertera:
SALDO ANDA, 60.000 rupiah. Bukan 6 juta seperti yang dia lihat tiga hari sebelumnya.Hahaha
Tapi Puji Tuhan, dia lelaki yang pantang sedih apalagi meratapi nasib. Gak ada dalam kamus dia. Mungkin baginya, lebih baik mati tersenyum meski miskin, daripada mati kaya tapi susah hati.
Sampai sekarang, setelah dia berhasil menaklukkan George Washington University sebagai kandidat wisudawan tercepat tahun ini dan dipercaya sebagai mahasiswa berprestasi yang layak jadi "cover boy" halaman iklan website kampus (lihat di sini: https://fb.watch/gSQujF4C5I/), lalu pernah semester pendek di salah satu Georgia, juga berhasil duduk manis bekerja sekian bulan di The International Monetary Fund (IMF), rupanya dia tetaplah Abraham yang baik hati.Â
Sekarang, sulit menemukan "60 ribu" rupiah di ATM-nya. Tuhan telah meninggikan hidupnya, memberi apa yang dia doakan dan ikhtiarkan. Apalagi coba? Yah, tinggal tetap merendah hati aja supaya Tuhan tetap menjaga Abraham Soyem si bocah Aru ini menjadi BERKAT untuk sesama.
Itu saja yang bisa saya ceritakan dari teman karib yang kerap kali dianggap warga Bollywood. TOP MARKOTOP!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H