Tensi politik tanah air semakin memanas, terutama di Jakarta. Orang-orang mulai turun ke jalan dengan alasan membela "kebenaran" lantaran kena hasutan dari sana sini, terutama hasutan yang dihembuskan elite politik menyoal kecurangan pemilu.
Kalau diperhatikan, pasca pencoblosan 17 April lalu, narasi chaos ini sudah dimainkan sejumlah elite politik, tujuan antaranya adalah mendelegitimasi KPU yang sejatinya sudah bekerja susah payah bahkan banyak petugas KPU berguguran. Sedangkan tujuan utamanya adalah menggagalkan Jokowi dalam kontestasi yang dinyatakan menang oleh KPU.
Sadar bahwa selisih perbedaan suara yang mencapai 11 persen atau terpaut sekitar 16 juta suara, membuat kubu penantang tak lagi bisa banyak berkutik. Sejumlah pengaduan kubu 02 pun ditolak Bawaslu karena bukti yang disodorkan tidak kuat, hanya berupa link pemberitaan yang mayoritas bukan dari mainstream media.
Lantas, sejumlah analisis mulai mengemuka terkait potensi kisruh pada 22 Mei kemarin. Saya sendiri melihat, biangkerok kekisruhan sebenarnya berawal dari narasi yang dimainkan elite, terutama menyoal pernyataan-pernyataan provokatif. Sebagai contoh, sebagai tokoh politik dan dikenal sebagai bapak Reformasi, Amin Rais belakangan ini bertingkah "aneh" dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang memantik kekisruhan, baik di jagat maya maupun dalam keseharian.
Wacana dan seruan people power sebagai langkah penolakan terhadap hasil pemilu sudah digaungkan Amin Rais tak lama selepas hari pencoblosan, bahkan ia menolak ke MK. Alhasil, wacana people power pun mulai dijadikan patokan oleh sebagian pendukung Prabowo, seolah-olah mereka mendapatkan satu isu bersama yang bisa dijadikan dalih aksi tersebut.
Mengapa pernyataan Amin begitu berdampak? Sebab posisinya dalam kelompok 02 sangat berpengaruh dan kerap kali dijadikan panutan, hingga ditingkat tertentu pun pernyataan Amin bisa dijadikan legitimasi tindakan; ya people power itu sendiri yang kemudian dia mengubahnya menjadi gerakan kadaulatan rakyat.
Gejala semacam ini disebut juga groupthink yang oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan seringkali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil.
Para pendukung yang cenderung berpikir sama dan sudah punya kesamaan isu, akan condong memilih pernyataan Amin sebagai perekat tindakan meskipun pernyataan tersebut tidak populer alias bertentangan atau membahayakan keamanan negara. Hal tersebut terjadi ditunjang pula oleh beberapa faktor penanda:
Pertama, kohesivitas kelompok yang berlebihan. Sejak dilabeli kelompok pendukung tertentu, kelompok ini cenderung hanya percaya pada apa yang didistribusikan petingginya, baik berupa informasi ataupun propaganda. Sehingga, apapun yang dilakukan oleh pemerintah maupun aparat keamanan sudah pasti disalahkan.
Kedua, propaganda dan agitasi. Di tengah kekisruhan opini yang beredar, pola propaganda dan agitasi pun dimainkan lebih gencar lagi. Beredarnya foto-foto palsu dan video editan pun memacu insting perlawanan bagi mereka yang memang sudah merasa dikecewakan atau dicurangi.