Manuver sejumlah partai koalisi Gerindra, membuat soliditas antarpartai yang selama ini dibangun mulai retak. Kekisruhan internal mulai mengemuka, mulai dari gelagat putar haluan sejumlah parpol hingga agresivitas verbal yang dilayangkan masing-masing juru bicara parpol koalisi. Kegalauan koalisi yang terjadi, kini seakan dihadapkan pada dua pilihan, tentang kepentingan masa depan (struktur peluang) masing-masing partai dan kembalinya "kewarasan" parpol menyoal berpolitik dengan hari nurani.
Dalam situasi seperti ini, Prabowo nampak dalam kegamangan lantaran dihadapkan pada performa politik lawan tandingnya (Jokowi) yang semakin kemari kian memukau, meraup kemenangan pemilu (setidaknya) versi quick count mayoritas lembaga survei independen yang sudah terdaftar di KPU, dan retaknya koalisi internal Prabowo.
Tentu saja, situasi ini bisa dibaca dari dinamika politik yang berkembang belakangan ini, dimana Demokrat dan PAN mulai rajin menampakkan diri di Istana Negara.
Boleh jadi, Demokrat dan PAN ogah mengambil risiko sebagai "orang kalah" di kubu Prabowo sekaligus ini tentang struktur peluang lima tahunan. Sehingga, afiliasi politik dengan Gerindra mulai dibatasi.
Dennis Gouron dalam The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constratins (1998) batasan afiliatif berarti bahwa seseorang memilih menahan diri daripada mengambil risiko. Nampak jelas bahwa Demokrat dan PAN tak ingin selamanya berada di luar ring kekuasaan, sebab dengan bergabung dengan Jokowi, kedua partai ini boleh jadi akan ketiban keuntungan dari kekuasaan Jokowi.
Selain itu, Demokrat juga bisa mengambil keuntungan dengan menjaga peluang "kandidasi" AHY di 2024 mendatang yang pada tahun ini memang kehilangan kesempatan itu, bahkan Demokrat terkesan setengah hati serumah dengan Gerindra.
Bagaimana dengan PAN, setelah keuntungan elektoral yang didapat dari koalisi Gerindra, saatnya mencari alternatif lain untuk menjaga keseimbangan laju partai.
Di lain sisi, PKS yang nampaknya masih setia pun, tak sungkan menunjukkan keberbedaan pandangan menyoal hasil quick count. Artinya, koalisi Prabowo sebenarnya tidak solid sebab hal dasar yang menjadi acuan klaim kemenangan Prabowo pun tak diindahkan sahabat koalisi. Kalau boleh mengambil kesimpulan lebih dini, sebenarnya Prabowo tersandera koalisi dasamuka ketiga partai ini alias setengah hati menjalin "cinta koalisi" dengan Gerindra.
Kalkulasi Politik ketiga parpol ini sepertinya berdasarkan rumusan masing-masing, sehingga tidak begitu bergantung pada Gerindra. Barangkali koalisi oposisi ini hanya bertujuan mencari efek ekor jas dari politik identitas yang dimainkan selama ini, sehingga setelah tujuan tercapai, ketiga langsung perlahan balik arah.
Namun, analisa lain menunjukkan bahwa kerapuhan koalisi bukan saja karena bandelnya parpol koalisi tapi akibat lemahnya kepemimpinan Prabwo dalam koalisi. Prabowo yang kelihatan disetir oleh kepentingan para pengusung dan pendukung, membuat marwah "kepemimpinan-nya" menjadi tak segahar Jokowi. Â
Lantas, akankah ketiga partai tersebut (yang sudah bermain hati dari gerindra) mendapat belas kasih Jokowi usai perlawanan sengit yang mereka sajikan saat kontestasi Pilpres? Kita lihat saja nanti, semua kemungkinan terbuka lebar. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H