Saya teringat puisi Mata Luka Sengkon Karta karya Peri Sandi Huizache yang amat masyhur. Terlebih, saat ia membacakan sendiri puisi tersebut. Boleh jujur, puisinya begitu kritis dan mengalir indah lariknya. Saya kutip sedikit saja baitnya:
"peralihan kepemimpinan yang mendesak
bung karno diganti pak harto
dengan dalih keamanan negara
pembantaian enam jenderal satu perwira
enam jam dalam satu malam
mati di lubang tak berguna
tak ada dalam perang mahabarata
bahkan di sejarah dunia
hanya di sejarah Indonesia..."
Rasa bahasa dan kesusastraan puisi ini, seperti muncul dari dalam hati dan kritisisme yang tinggi, bukan mengolok-olok tapi menyampaikan apa yang pernah menjadi sejarah kelam bangsa ini. Meskipun puisi sangat kritis, tapi satu yang saya rasakan dari puisi ini adalah menguatnya semangat kebangsaan, juga kecintaan akan tanah air yang kian mendalam.
Selain Peri, ada kyai sepuh yang juga seniman luar biasa, puisi-puisinya sangat menggelitik nalar dan menyadarkan kita akan kondisi negeri ini, siapa lagi kalau bukan K.H. Ahmad Mustafa Bisri atau yang biasa kita sapa Gus Mus. Pak Kyai kerap mengatakan bahwa puisi-puisinya adalah puisi balsem. Puisi-puisi Pak Kyai sudah dibuat puluhan tahun lalu, namun masih relefan dengan masa kini. Saya kutip lagi sedikit bait puisi beliau:
"mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya didunia
dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku..."
Puisi Gus Mus di atas berjudul "Negeriku". Hingga akhir baitnya, puisi ini begitu kritis dan satire sekali. Selain itu, beberapa puisi lainnya begitu menggugah kesadaran kita, seperti beberapa judul berikut, "Di Negeri Amplop" dan "Negeri HaHaHiHi". Sekilas, puisi-puisi Gus Mus memang sangat kritis namun tidak "kekurangan adab", bahkan sebaliknya, isinya mencoba menyadarkan kita untuk kian beradab pada tanah air tercinta ini.
Nah, tanpa perlu mensyen banyak penyair hebat lagi, saya ingin fokus ke puisi Fadli Zon yang sebenarnya secara subjektif saya, puisi ini cukup bagus dan kritis. Namun, sekilas puisi ini dibuat dengan kesan politik yang amat kuat, tendensinya diendus sebagai penghinaan dan serupa olok-olokan pada Kyai Sepuh Maimun Zubair.
Saya jadi teringat kutipan kata-kata Seno Gumiro Ajidarma dalam sebuah buku sastra terbitan Kompas yang bebrunyi: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Namun sayangnya, sastra yang bicara lewat pena puisi Fadli Zon menemui takdir yang tak sedap. Dia menuai banyak kritik dari masyarakat karena dianggap merusak adab penghormatan pada guru, pada alim ulama.
Namun, layakkah puisi Fadli Zon itu diagresi banyak cacian oleh kita? Oh, tidak. Jangan dihina, biarkan itu sebagai ekspresi politiknya yang ditungkan lewat sastra. Kita hanya perlu melihat kelegaan hati Fadli Zon untuk meminta maaf jikalau puisi tersebut memang secara sentimen ia arahkan untuk menggoreng kekhilafan Kyai Maimun.
Toh, permintaan maaf pun barangkali akan berdampak baik. Supaya Fadli pun tak dianggap berternak kebencian lewat kata-kata dan syair yang ia produksi, reproduksi dan distribusi ke berbagai kanal media yang akhirnya memantik keriuhan publik. Sekarang, Fadli katanya akan meminta maaf dan mungkin tak mengulanginya lagi. Semoga begitu....
Oh iya, saya selipkan juga puisi kritis saya yang satire ini tentang situais politik DKI Jakarta, yang dulu barangkali syairnya sudah saya prediksi bahwa Fadli Zon memang pintar bikin puisi.
GARA-GARA AHOK
Gara-gara Ahok
Orang-orang bicara akhlak
Katanya butuh pemimpin bijak
Bukan yang mencak-mencak
Gara-gara Ahok
Pengacara sadar hukum
Ke Penjaringan bela beberapa kaum
Bicara lantang penegakan hukum
Gara-gara Ahok
Partai politik takut deparpolisasi
Para elit berhitung untung rugi
Akhirnya merapatkan diri
Gara-gara Ahok
Umat Islam ingat Quran
FPI punya kerjaan
Demonstran dikerahkan
Gara-gara Ahok
MUI merasa tersindir
Buka-buka lagi kitab tafsir
Khawatir ada ayat-ayat dipolitisir
Gara-gara Ahok
Orang-orang sadar diri
Selama ini diakali politisi
Sebab tiap proyek dikorupsi
Gara-gara Ahok
Fadli Zon pintar bikin puisi
Fahri Hamzah pandai mengkritisi
Tapi DPR tetap tak tau diri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H