Dinamika politik tanah air kini semakin berisik akibat kontestasi politik lima tahunan yang ramai bak pasar lelang. Orang-orang bicara politik dari warung kopi hingga tongkrongan berkelas, dari supir angkot hingga pejabat negara.Â
Namun letupan obrolan-obrolan politik tersebut tak dibarengi dengan keajegan nalar, gelontoran fakta verifikatif, juga sikap dan tindakan politik yang adem.
Mulai dari lapisan elite hingga warga akar rumput (grassroots), kini gampang naik pitam apabila perbicangan politik sedikit menyentil kandidat yang dijagokan.Â
Lapor-melaporkan pun mulai marak, bahkan dari hal-hal sepele yang tak mesti gaduh pun dibuat menjadi riuh di ruang publik dan menjadi konsumsi masyarakat luas.
Walhasil, warga terjebak banyak sekali realitas rekaan yang diracik dengan teknik propaganda, klaim-mengklaim kebenaran, dan sedikit pesona retorika yang mayoritas masih sebatas wacana.Â
Jani-janji politik kini menjadi barang dagangan paling laku di pasar lelang politik, dari yang menjual janji "akan begini dan begitu", hingga janji "klaim keberhasilan" yang akan diteruskan pada periode mendatang.
Tentu saja untuk kepentingan branding, positioning dan segmenting sang kandidat agar meraup kumulasi suara sebanyak-banyaknya di tengah derasnya arus kompetisi Pilpres ini.
Strategi yang dimainkan tentu saja penguatan metode pemasaran politiknya. Meminjam catatan Gary A Mauser (1983), bahwa pemasaran politik merupakan upaya memengaruhi perilaku massa (mass behavior) dalam situasi kompetitif.Â
Sebab itu, pemasaran politik  para kandidat memang diarahkan secara persuasif untuk memengaruhi pikiran, sikap dan tindakan pemilih, termasuk pengambilan keputusan pencoblosan di bilik suara nanti.
Di era post-truth ini, orang lebih percaya pada kecenderungan subyektifnya ketimbang suguhan-suguhan fakta, lebih terkesima dengan permainan retorika ketimbang ketegasan sikap dan bukti kerja.Â
Sehingga, para kreator kampanye tentu saja memanfaatkan ini sebagai celah tuk memengaruhi pemilih. Apalagi, secara psikopolitik, warga Indonesia lebih percaya pada "kebenaran kerumunan" ketimbang keajegan logika.