Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Jokowi dan Jebakan Retorika Manipulatif

6 Februari 2019   00:05 Diperbarui: 6 Februari 2019   10:47 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar milik kapanlagi.com

Dinamika politik tanah air kini semakin berisik akibat kontestasi politik lima tahunan yang ramai bak pasar lelang. Orang-orang bicara politik dari warung kopi hingga tongkrongan berkelas, dari supir angkot hingga pejabat negara. 

Namun letupan obrolan-obrolan politik tersebut tak dibarengi dengan keajegan nalar, gelontoran fakta verifikatif, juga sikap dan tindakan politik yang adem.

Mulai dari lapisan elite hingga warga akar rumput (grassroots), kini gampang naik pitam apabila perbicangan politik sedikit menyentil kandidat yang dijagokan. 

Lapor-melaporkan pun mulai marak, bahkan dari hal-hal sepele yang tak mesti gaduh pun dibuat menjadi riuh di ruang publik dan menjadi konsumsi masyarakat luas.

Walhasil, warga terjebak banyak sekali realitas rekaan yang diracik dengan teknik propaganda, klaim-mengklaim kebenaran, dan sedikit pesona retorika yang mayoritas masih sebatas wacana. 

Jani-janji politik kini menjadi barang dagangan paling laku di pasar lelang politik, dari yang menjual janji "akan begini dan begitu", hingga janji "klaim keberhasilan" yang akan diteruskan pada periode mendatang.

Gambar milik kapanlagi.com
Gambar milik kapanlagi.com
Salahkah? Tentu saja tidak, tapi keajegan nalar yang dibangun dengan narasi-narasi politik inilah yang kerap kali terlepas dari substansi literasi politik. Tujuannya apa? 

Tentu saja untuk kepentingan branding, positioning dan segmenting sang kandidat agar meraup kumulasi suara sebanyak-banyaknya di tengah derasnya arus kompetisi Pilpres ini.

Strategi yang dimainkan tentu saja penguatan metode pemasaran politiknya. Meminjam catatan Gary A Mauser (1983), bahwa pemasaran politik merupakan upaya memengaruhi perilaku massa (mass behavior) dalam situasi kompetitif. 

Sebab itu, pemasaran politik  para kandidat memang diarahkan secara persuasif untuk memengaruhi pikiran, sikap dan tindakan pemilih, termasuk pengambilan keputusan pencoblosan di bilik suara nanti.

Di era post-truth ini, orang lebih percaya pada kecenderungan subyektifnya ketimbang suguhan-suguhan fakta, lebih terkesima dengan permainan retorika ketimbang ketegasan sikap dan bukti kerja. 

Sehingga, para kreator kampanye tentu saja memanfaatkan ini sebagai celah tuk memengaruhi pemilih. Apalagi, secara psikopolitik, warga Indonesia lebih percaya pada "kebenaran kerumunan" ketimbang keajegan logika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun