Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Kampanye Capres 02 ala Trump?

13 Januari 2019   19:32 Diperbarui: 13 Januari 2019   19:45 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari beritasatu.com

Musim kampanye presiden masih berlangsung hingga dua bulan lebih ke depan, para capres mulai menggencarkan kerja tim pemenangan, terutama menyoal pemasaran politik, termasuk kubu Prabowo-Sandi. Namun amat disayangkan, kampanyenya hingga saat ini belum banyak kemajuan, agak membosankan dan jauh dari substansi persoalan kebangsaan.

Saban waktu, media sosial maupun media massa malah kebanjiran isu hoaks, propaganda dan agitasi yang merugikan secara personal Prabowo di mata pemilih pemula atau pemilih rasional. Kampanye program yang didambakan masih belum nampak dan nampaknya masih berkutat seputaran visi retoris atau permainan verbal semata.

Pilihan sejumlah agresivitas verbal yang dijalankan lebih banyak menguras emosi, ketimbang  suguhan gagasan  dengan argumentasi yang mapan. Lihat saja narasi kegaduhan yang dimunculkan justru pilihan diksi "tampang boyolali, Indonesia bubar" dll. Sungguh sesuatu yang unsubstansial dan memantik kegaduhan publik, menambah polemik dan kontroversi.

Tercatat, Prabowo pernah secara gegabah yang juga didampingi para pembisiknya melakukan jumpa pers (press conference) terkait pengakuan bohong Ratna Sarumpaet yang katanya dianiaya.

Tak lama berselang, nama Prabowo kembali mencuat akibat protes warga atas pidato "tampang boyolali" yang dianggap menyakiti hati warga Boyolali. Bahkan sempat bersitegang akibat isunya yang menggelinding bak bola liar juga terjadi lapor-melapor ke pihak kepolisian.

Tak hanya itu, ternyata sang cawapres pun nampak latah dan melakukan sejumlah kesalahan "dihadapan" publik. Waktu itu, Sandi Uno melangkahi makam salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Bisri Syansuri saat melakukan ziarah ke makam para tokoh NU. Lawatan ke Jombang itu pun tak berakhir manis, lantaran viral protes di media sosial akibat ulah Sandi.

Malahan, jauh sebelumnya, Sandi pernah melontarkan pernyataan yang meminta para kepala daerah agar tidak ikut-ikutan mendukung salah satu capres-cawapres pada kontestasi Pilpres 2019 mendatang. Rupanya, pernyatan itu disambut kritik pedas nan akurat dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Hal semacam ini senada dengan kampanye Pilpres Amerika 2016 lalu, dimana Trump menyerukan nasionalisme ekonomi. Persepsi warga Amerika dicekoki dengan ketakutan terhadap ancaman para imigran, kelompok muslim dan Tiongkok.

Begitupun Prabowo pada Kamis 22 Maret 2018, juga pernah berpidato bahwa Indonesia bisa bubar pada 2030. Sejumlah pengamat menilai pilihan diksi dan muatan narasi Prabowo identik dengan strategi Trump saat memenangi Pilpres Amerika. 

Melihat tagline Prabowo, nampak meniru Donald Trump "Indonesia First, Make Indonesia Great Again" benar-benar sangat mirip dengan tagline "America First, Make America Great Again" milik Trump.

Selama ini, pendekatan Trump dikenal dalam kajian komunikasi politik sebagai Russia's approach yakni Firehose of Falsehood. Praktik propaganda firehose of falsehood ini memiliki empat karakteristik utama (Heryanto; 2019):

Pertama, memanfaatkan kontroversi untuk membanjiri kanal-kanal warga yang sehari-hari diakses mereka dengan narasi yang dikehendakinya.

Kedua, narasi dikonstruksi cepat dan dan dibuat masif. Artinya pesan yang sama atau serupa bisa diulang-ulang secara terus menerus sehingga persepsi khalayak lama-lama akan terkonstruksi seperti yang dikehendaki.

Ketiga, tidak terlalu peduli dengan akurasi dan etika. Kerap mengabaikan keterhubungan pernyataan yang dilontarkan dengan realita sesungguhnya.

Keempat, seringkali tidak konsisten antara narasi di satu kesempatan dengan kesempatan berbeda.

Kesimpulannya, strategi Firehose of Falsehood ini membuat Prabowo menjadi sangat kontroversial, dapat dipersepsikan licik, rasis, atau stigma buruk lainnya. Namun, bukan berarti bakal merugi, senaliknya malah bisa mendapat insentif elektoral dari mereka yang tidak menyukai Jokowi.

Strategi propaganda yang mirip sekali dengan metode pendekatan Rusia adalah false flag operation. Modusnya operandinya seperti mengkambinghitamkan pihak lawan atas suatu kasus atau kejadian. Tujuannya, ya membuat warga percaya apa yang mereka lakukan atau ucapkan.

Maka jangan heran, jika ada lagi rebut-ribut soal pernyataan kontroversi Prabowo, berarti kita sudah mengendus kemana larinya hal itu, tentu saja ke metode yang saya sebutkan dalam tulisan ini; operasi pengendalian opini publik. Namun perlu dipahami bahwa Indonesia bukan Amerika, Idonesia berdiri tegak dengan demokrasinya sendiri, kokoh dalam perbedaan dan tak akan bubar hanya lewat retorika semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun