Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Natal dan Politik Haramisasi

31 Desember 2018   13:36 Diperbarui: 1 Januari 2019   10:27 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: kompas.com

Panggung politik kita belakangan ini kian memanas dan sentimentil akibat melubernya isu-isu berlabel agama, terutama saat natal dan menjelang tahun baru.  Padahal, sudah seharusnya pola dukungan seperti ini dihindari dan diganti dengan kampanye yang lebih produktif.

Beberapa hal yang memantik keriuhan polarisasi jelek-menjelekan, sudut-menyudutkan berdasarkan agama ini, kerap kali disandarkan pada latarbelakang keluarga kedua capres. Jokowi selalu dikaitkan dengan Konghucu dan PKI, padahal sudah dibantah dan itu merupakan hoaks.

Begitupun dengan Prabowo yang kerap diragukan keberagamaannya dan dikatakan Kristen. Lagi-lagi, ini adalah hoaks. Prabowo memanglah seorang muslim bahkan sudah berhaji, sekalipun memang benar adanya bahwa mayoritas keluarga Prabowo merupakan nonmuslim, seperti Bianti Djiwandono dan keluarga (kakak) menganut Katolik, Mariane le Maistre dan keluarga (kakak) menganut Katolik, adiknya Prabowo yaitu Hashim Djojohadikusumo menganut Protestan, dan keponakan juga ibunda tercintanya yang Kristen.

Lantas, so what? Biarkan saja setiap orang menjalankan agama dan keyakinannya, termasuk para capres-cawapres. Tidak perlu ada lomba mengaji atau ngimami sholat bagi kedua capres karena itu sangat kontraproduktif, apalagi berkelahi gara-gara haram-mengharamkan alias haramisasi perkara Natal dan tahun baru.

Perkara mengharamkan pengucapan Natal kembali mengemuka bahkan seperti "kontroversi tahunan" yang dibuat-buat, terutama menjelang Natal kemarin dan menghadapi tahun baru yang tinggal beberapa jam lagi. Kerap terjadi agresivitas verbal di antara para pendukung capres-cawapres yang resonansi pernyataan tersebut justru merusak dan mendelegitimasi kerukunan antarumat.

Sebagai contoh, kalau dilihat fakta kemarin, memang benar bahwa Prabowo merayakan suka cita Natal dan ikut berjoget dengan keluarga, tapi itu sebatas menghargai keberbedaan di antara keluarganya yang memang mayoritas merayakan Natal. Lagi pula, hanya sekadar merayakan saja, bukan beribadah.

Tak cuma itu, KH. Ma'ruf Amin pun ketiban sial. Videonya yang beredar tengah mengucapkan selamat Natal dengan memakai jas dan kopiah pun diedit sedemikian rupa sehingga nampak KH. Ma'ruf menggunakan kostum Santa. Padahal, ucapan itu bagian dari upaya toleransi antarumat bergama di Indonesia yang kita cintai.

Untuk menghindari konflik semacam ini (isu SARA), kita harus pahami bahwa setiap tindak-tanduk komunikasi tidak akan terlepas dari konteksnya. Apalagi, pernyataan-pernyataan itu kerap kali diungkap oleh para tokoh, baik tokoh politik, figur publik, selebritas, pemuka agama, tetua adat dll, haruslah dipahami konteksnya. Kalau seorang capres maupun cawapres mengucapkan Natal atau selamat terkait hari raya agama dan adat apapun, jangan langsung diautokafirkan. Namanya juga pemimpin, ya harus menyayangi dan melindungi segenap warganya.

Kemudian, yang perlu diingat juga bahwa setiap pesan komunikasi politik dari capres-cawapres itu punya narasi atau jalan cerita yang bertalian. Kalau narasi itu bagus, maka akan membangun kekuatan

Ada beberapa ciri-ciri permainan SARA yang kerap dinarasikan untuk memperburuk situasi politik kebangsaan kita di Indonesia:

Pertama, name calling. Teknik ini digunakan untuk melabeli secara buruk orang lain guna memantik kemarahan atau mendelegitimasikan status sosialnya. Misal, mengatakan Jokowi koppig, Ma'ruf Amin (maaf) "sudah bau tanah" adalah pelabelan buruk yang sungguh tidak terpuji.  

Kedua, politik asosiatif. Misalkan, mengidentikkan Jokowi dengan PKI adalah bagian dari pembunuhan karakter dan termasuk politik asosiatif. Atau mengatakan Prabowo hanya Islam KTP, tidak bisa mengaji dan belum pernah terlihat sebagai imam sholat yang dikaitkan dengan mayoritas keluarganya yang bergama Kristen, lantas sengaja dikuatkan narasinya menjadi Prabowo tidak jelas agamanya, tentu saja ini sebuah fitnah.

Ketiga, card stacking. Memilah-milih fakta atau kebohongan untuk disampaikan namun hanya dari satu sisi atau sudut pandang dengan tujuan baik atau buruk. Contoh nyatanya, Jokowi diserang dari sisi pelemahan ekonomi dengan pernyataan bahwa hutang bertambah. Padahal, hal ini sudah dijelaskan berkali-kali oleh kementrian terkait dan bagaimana kemampuan dalam membayar hutang juga struktur ekonomi Indonesia yang kian menguat.

Selain itu, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para pendukung. Ya, namanya juga fans fanatik, apapun yang terjadi, salah maupun benar akan dibela. Kalau begitu, tugas berikutnya ada di pundak para capres-cawapres dan politisi bahwa kalau melontarkan pesan, jangan sembarangan atau asal jeplak. Perlu dipikir terlebih dahulu, terutama pada momentum yang kadang butuh spontanitas.

Kesalahan ucap yang sering dilakukan capres-cawapres lalu berujung hujatan publik sudah sering kita saksikan, terutama Prabowo yang telah berkali-kali tersandung, seperti tampang Boyolali, otak di dengkul dll. Kalau mau membangun komunikasi politik, sebaiknya jangan asal-asalan dan butuh perhitungan matang sehingga efek boomerang bisa dihindari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun