Kedua, politik asosiatif. Misalkan, mengidentikkan Jokowi dengan PKI adalah bagian dari pembunuhan karakter dan termasuk politik asosiatif. Atau mengatakan Prabowo hanya Islam KTP, tidak bisa mengaji dan belum pernah terlihat sebagai imam sholat yang dikaitkan dengan mayoritas keluarganya yang bergama Kristen, lantas sengaja dikuatkan narasinya menjadi Prabowo tidak jelas agamanya, tentu saja ini sebuah fitnah.
Ketiga, card stacking. Memilah-milih fakta atau kebohongan untuk disampaikan namun hanya dari satu sisi atau sudut pandang dengan tujuan baik atau buruk. Contoh nyatanya, Jokowi diserang dari sisi pelemahan ekonomi dengan pernyataan bahwa hutang bertambah. Padahal, hal ini sudah dijelaskan berkali-kali oleh kementrian terkait dan bagaimana kemampuan dalam membayar hutang juga struktur ekonomi Indonesia yang kian menguat.
Selain itu, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para pendukung. Ya, namanya juga fans fanatik, apapun yang terjadi, salah maupun benar akan dibela. Kalau begitu, tugas berikutnya ada di pundak para capres-cawapres dan politisi bahwa kalau melontarkan pesan, jangan sembarangan atau asal jeplak. Perlu dipikir terlebih dahulu, terutama pada momentum yang kadang butuh spontanitas.
Kesalahan ucap yang sering dilakukan capres-cawapres lalu berujung hujatan publik sudah sering kita saksikan, terutama Prabowo yang telah berkali-kali tersandung, seperti tampang Boyolali, otak di dengkul dll. Kalau mau membangun komunikasi politik, sebaiknya jangan asal-asalan dan butuh perhitungan matang sehingga efek boomerang bisa dihindari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H