Panggung politik kita belakangan ini kian memanas dan sentimentil akibat melubernya isu-isu berlabel agama, terutama saat natal dan menjelang tahun baru. Â Padahal, sudah seharusnya pola dukungan seperti ini dihindari dan diganti dengan kampanye yang lebih produktif.
Beberapa hal yang memantik keriuhan polarisasi jelek-menjelekan, sudut-menyudutkan berdasarkan agama ini, kerap kali disandarkan pada latarbelakang keluarga kedua capres. Jokowi selalu dikaitkan dengan Konghucu dan PKI, padahal sudah dibantah dan itu merupakan hoaks.
Begitupun dengan Prabowo yang kerap diragukan keberagamaannya dan dikatakan Kristen. Lagi-lagi, ini adalah hoaks. Prabowo memanglah seorang muslim bahkan sudah berhaji, sekalipun memang benar adanya bahwa mayoritas keluarga Prabowo merupakan nonmuslim, seperti Bianti Djiwandono dan keluarga (kakak) menganut Katolik, Mariane le Maistre dan keluarga (kakak) menganut Katolik, adiknya Prabowo yaitu Hashim Djojohadikusumo menganut Protestan, dan keponakan juga ibunda tercintanya yang Kristen.
Lantas, so what? Biarkan saja setiap orang menjalankan agama dan keyakinannya, termasuk para capres-cawapres. Tidak perlu ada lomba mengaji atau ngimami sholat bagi kedua capres karena itu sangat kontraproduktif, apalagi berkelahi gara-gara haram-mengharamkan alias haramisasi perkara Natal dan tahun baru.
Perkara mengharamkan pengucapan Natal kembali mengemuka bahkan seperti "kontroversi tahunan" yang dibuat-buat, terutama menjelang Natal kemarin dan menghadapi tahun baru yang tinggal beberapa jam lagi. Kerap terjadi agresivitas verbal di antara para pendukung capres-cawapres yang resonansi pernyataan tersebut justru merusak dan mendelegitimasi kerukunan antarumat.
Sebagai contoh, kalau dilihat fakta kemarin, memang benar bahwa Prabowo merayakan suka cita Natal dan ikut berjoget dengan keluarga, tapi itu sebatas menghargai keberbedaan di antara keluarganya yang memang mayoritas merayakan Natal. Lagi pula, hanya sekadar merayakan saja, bukan beribadah.
Tak cuma itu, KH. Ma'ruf Amin pun ketiban sial. Videonya yang beredar tengah mengucapkan selamat Natal dengan memakai jas dan kopiah pun diedit sedemikian rupa sehingga nampak KH. Ma'ruf menggunakan kostum Santa. Padahal, ucapan itu bagian dari upaya toleransi antarumat bergama di Indonesia yang kita cintai.
Untuk menghindari konflik semacam ini (isu SARA), kita harus pahami bahwa setiap tindak-tanduk komunikasi tidak akan terlepas dari konteksnya. Apalagi, pernyataan-pernyataan itu kerap kali diungkap oleh para tokoh, baik tokoh politik, figur publik, selebritas, pemuka agama, tetua adat dll, haruslah dipahami konteksnya. Kalau seorang capres maupun cawapres mengucapkan Natal atau selamat terkait hari raya agama dan adat apapun, jangan langsung diautokafirkan. Namanya juga pemimpin, ya harus menyayangi dan melindungi segenap warganya.
Kemudian, yang perlu diingat juga bahwa setiap pesan komunikasi politik dari capres-cawapres itu punya narasi atau jalan cerita yang bertalian. Kalau narasi itu bagus, maka akan membangun kekuatan
Ada beberapa ciri-ciri permainan SARA yang kerap dinarasikan untuk memperburuk situasi politik kebangsaan kita di Indonesia:
Pertama, name calling. Teknik ini digunakan untuk melabeli secara buruk orang lain guna memantik kemarahan atau mendelegitimasikan status sosialnya. Misal, mengatakan Jokowi koppig, Ma'ruf Amin (maaf) "sudah bau tanah" adalah pelabelan buruk yang sungguh tidak terpuji. Â