Ketiga, prosedural. Ini juga unik jika melihat pencalonan Prabowo. Secara prosedural memang sudah tepat, ia diusung gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Namun capres dan ketua BPN berasal dari Gerindra. Tentu saja kita patut curiga, mengapa separtai semua? Ini untuk mempermudah konsolidasi dan pengambilan keputusan internal Gerindra meski dibebani kepentingan koalisi.
Dari tiga cara di atas, variabel pertama nampaknya begitu dioptimalkan Prabowo sebagai alat perebutan kekuasaan dalam kontestasi pilpres kali ini. Setidaknya, dengan memanfaatkan gerakan 212, Prabowo dan tim sebenarnya ingin menyasar beberapa hal;
Pertama, bargaining position Gerindra. Aksi 212 yang diikuti Prabowo sebenarnya digunakan sebagai alat barter kekuasaan. Semakin solid suara peserta 212, maka semakin kuat posisi tawar Gerindra di mata petahana.Â
Setidaknya, dapat menjadi alat paksa agar Jokowi mau kompromi dengan Gerindra, seperti memberikan jatah kursi menteri jika Jokowi ingin menang tanpa tantangan berarti. Saya mencurigai ini dari pertemuan Luhut dan Prabowo beberapa waktu lalu, yang kata "kabar burung" telah terjadi kesepakatan.
Kedua, insentif elektoral dalam pileg dengan memperbanyak kursi di DPR RI. Harus diakui bahwa aksi 212 tidak memberikan insentif elektoral berarti bagi koalisi PAN, Demokrat, dan PKS yang mengusung Prabowo, tapi sebaliknya secara hitung-hitungan politik, malah membuka peluang besar bagi raupan insentif elektoral Gerindra. Mengapa? Sebab bicara capres-cawapres 02, ya bicara Gerindra, bukan yang lain.
Ketiga, Gerindra ingin memanfaatkan momentum saat ini untuk merebut kuasa pada 2024 mendatang. Kenapa? Sebab memang pertarungan saat ini amatlah sulit bagi sang penantang petahana dengan segala kekurangan yang ada. Jadi, ketika kalah, sejatinya Gerindra telah pasang kuda-kuda dari sekarang dengan menampilkan sosok Bang Sandi Uno.
Coba dipikir saja, dari semua pemimpin muda yang digadang-gadang bakal maju dalam kontestasi pilpres 2024 mendatang, seperti Risma, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Ganjar dll, tentu saja hanya Sandi Uno yang sudah siap dengan "tabungan manuver" musim ini.
Pada 2024 nanti, sementara calon kandidat lain masih sulit mencari kendaraan politik dan masih sulit mencari basis massa, justru Gerindra yang digadang-gadang bakal mengantongi 18 persen dukungan kursi di DPR akan dengan mudah menjual Sandi Uno yang sudah siap dengan mencari minimal 2 persen lagi dukungan kursi DPR.Â
Terlebih, popularitas dan elektabilitas Sandi Uno saat ini begitu melejit ketimbang calon pemimpin muda lainnya. Kalau sudah begini, meskipun kalah, setidaknya Prabowo sudah punya kader yang siap tanding di masa datang.
Kesimpulannya, tidak ada jamuan gratis dalam politik, tidak ada pertemanan sejati dalam politik, yang ada hanya kepentingan sejati. Sehingga, 212 kini bukan lagi soal bela-membela tauhid melainkan membela kepentingan politik jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H