Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komunikasi Simbolik Jokowi di Hari Reuni 212

4 Desember 2018   03:29 Diperbarui: 4 Desember 2018   22:35 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap pemaknaan peristiwa, tentu saja tidak lepas dari narasi dan komunikasi simbolik para aktor yang terlibat. Hal ini juga berlaku bagi peristiwa aksi 212 pada 2016 lalu maupun Reuni 212 kemarin. Namun, saya tidak ingin membahas lebih jauh apa yang terjadi pada reuni akbar kelompok 212 melainkan lebih menyoroti komunikasi simbolik Jokowi dalam menyikapi aksi tersebut.

Sebelum saya membahas lebih, perlu diingat bahwa Reuni 212 bukan hanya persoalan suara "bela tauhid", tapi selalu ada pesan di balik pesan, selalu ada framing di balik narasi, selalu ada aktor intelektual di balik aksi, dan selalu ada kepentingan elite di belakangnya.

Terlebih, kalau dilihat kenyataan aksi kemarin, ternyata slogan "bela tauhid" ini terlalu polos jika kita hanya memahaminya sebagai kecintaan akan agama saja, sebab dalam aksi itu hadir capres-cawapres nomor urut 2 beserta para pendukungnya.

Ada yang berargumen, kan tidak ada bendera partai? Sebentar, gambaran politik tidak hanya pada lambang partai berupa bendera tapi juga aktornya, apalagi elitenya. Sehingga, sulit rasanya kita menihilkan irisan politik dalam reuni 212 tersebut. Apalagi, dalam aksi itu Jokowi tidak diundang seperti pada aksi berjilid-jilid sebelumnya, maka jelaslah keberpihakan politiknya dari pembacaan komunikasi politik.

Lantas, bagaimana Jokowi menyikapi Reuni 212 yang dihadiri Prabowo itu? Di sinilah kekuatan komunikasi politik Jokowi. Meminjam bahasa Pacanowsky dan O'Donnel dalam bukunya Communication and Organizational Cultute (1982), disebut sebagai perfoma komunikasi yang didefinisikan sebagai suatu proses simbolik akan perilaku komunikasi dalam organisasi (masyarakat).

Corak komunikasi Jokowi yang high context level; dimana pesan yang disampaikan sangat smooth, caranya pun tidak kentara sebagai aksi balasan, menjadikan komunikasi Jokowi amat berkelas dan cenderung tidak agresif secara verbal namun kuat secara karakter tindakan.

Menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa teknik yang digunakan Jokowi dalam menyikapi Reuni 212:

Pertama, mengalihkan perhatian publik dengan strategi canvassing, seperti meninjau langsung sejumlah rumah yang mendapat penyalaan listrik gratis tahap 1, sebanyak 130.248 KK, dengan target tersambung 100.970 KK di bulan Desember tahun ini.

Pada momentum ini, Jokowi mengetuk langsung rumah warga yang terdampak program dan berkomuniaksi dengan mereka, juga sebagai bagian dari upaya memastikan basis konstituen Jawa Barat. Selain itu, sebagai news maker, Jokowi juga membawa serta wartawan ke lokasi kunjungannya dan mendapat banyak siaran pers.

Kedua, pesan perang urat syaraf. Harus diakui, pola interaksi politik yang menyisipkan pesan politik ini kerap digunakan oleh Jokowi saat dia tidak perlu membalas apapun (tuduhan) yang mengarah kepadanya dengan kata-kata. Contoh yang sudah terkenal adalah melepaskan ratusan kodok dan burung di Istana Bogor. Dari peristiwa ini, istilah cebong kian santer diarahkan ke Jokowi dan pendukungnya.

Nah, karakteristik komunikasi politik semacam Jokowi ini, disebut Robert E Denton dan Gary C Woodward, dalam bukunya Political Communication in America (1990), sebagai intention (tujuan) yang memengaruhi lingkungan politik. Cara ini juga ampuh sebagai cara mendeteksi reaksi publik terhadap tindakannya tersebut, positif atau negatif, diterima atau ditolak, bahkan dieluh-eluhkan atau dicuekin.

Ketiga, mengamankan zona of possible agreement. Ibarat kata, sementara Prabowo sibuk reunian dengan gerakan kelompok 212, Jokowi mengirimkan sinyal bahwa zona grassroots di rumah-rumah sudah ia amankan dengan kunjungan langsung (face to face informal) bahkan boleh jadi telah terjadi kesepakatan-kesepakatan informal yang memungkinkan adanya tambahan insentif elektoral bagi Jokowi.

Selain itu, kita dapat melihat sebuah proses konvergensi simbolik yang dimainkan Jokowi. Terminologinya bisa kita rujuk dari tulisannya John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998), yang menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum atau realitas simbolik yang disebut sebagai visi retoris. Visi retoris ini, menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi maupun paradigma berpikir.

Jadi, tak heran jika ada saja warga yang bilang; dari pada duduk demo atau aksi di  Monas, mending turun bekerja untuk rakyat. Nah, anggapan seperti ini sebenarnya disadari atau tidak, memang lahir dari konstruksi pola komunikasi Jokowi yang andal dalam menyisipkan pesan-pesan politik, baik dalam komunikasi verbalnya maupun komunikasi simboliknya.

Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa semua ucapan dan tindak-tanduk Jokowi harusnya mulai kita pahami sebagai suatu komunikasi berpola, bukan pepesan kosong yang dilepaskan begitu saja kepada publik, apalagi sampai memantik protes publik dan harus minta maaf karena kalap.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun